Yvonne Rieger-Rompas

A journey in history with Ipong

Ke Suppa

Dipublikasikan: 24.01.2020

Setelah mendengar berita bahwa Indonesia merdeka, beberapa pejuang dari Sulawesi Selatan berangkat ke Pulau Jawa. Akhir tahun 1946 dan awal tahun 1947 mereka kembali melalui beberapa desa di Pantai Lowita, Suppa, Pinrang.
Di tempat-tempat pendaratan itu dibangun tugu peringatan dan tercantum nama-nama pejuangnya.
Di salah satu monumen pendaratan di Suppa, Pinrang, Sulawesi Selatan, tercantum nama Mayor Saleh Lahade, Letnan Andi Oddang, Letnan Sukarno dan Prajurit Pasarai.
Sebelum tahun 1950 Suppa adalah wilayah bagian dari Parepare.

Di dalam buku Memoar BRIGJEN Purnawirawan Andi Oddang Untuk Merah Putih beliau jelaskan „Kami pilih Suppa karena kami tahu bahwa daerah itu berada dalam de facto Republik Indonesia dibawah pimpinan Andi Abdullah Bau Massepe dan Andi Makkasau Datu Suppa Toa“

Peristiwa menyedihkan terjadi pada 28 Januari 1947. Tentara Belanda membawa beberapa pejuang yang telah ditangkap dan dipenjarakan ke Suppa. Sebagian masyarakat desa di wilayah Suppa diharuskan berkumpul di Majenang di halaman rumah Datu Suppa Andi Abdullah Bau Maseppe. Andi Abdullah Bau Maseppe saat itu berada di penjara dan tewas pada 1 Februari 1947.

Masyarakat pesisir dari desa Parengki dan Sabamparu harus pergi ke Majennang. Sebelum mereka berangkat, rumah-rumah dibakar. Gabah yang disimpan dirumah hangus.
Ida janda Beddu Sama menceritakan, anaknya yang masih bayi tidak berhenti menangis digendongan diperjalanan ke Majennang.
Sampai ditempat, tentara memisahkan perempuan dan anak-anak, ibu Ida harus duduk bersama perempuan lainnya ditempat lain dibawah matahari. Anaknya, Hapida tetap menangis karena susu Ida tidak cukup.

Abd. Rachman dari Parengki melihat banyak serdadu mondar mandir dengan senapan dan laki-laki duduk di lapangan di halaman rumah Datu. Beliau masih kanak-kanak tidak ikut duduk tapi kebingungan tidak tahu harus kemana karena ketakutan.
Ketika tentara ingin tahu siapa saja warga dari Sabamparu, La Tjili, kepala Sabamparu menjawab semua rakyat Parengki, Barakasanda dan Sabamparu adalah rakyat Sabamparu. Mereka kemudian di suruh berjejer dan ditembak satu persatu dengan pistol. Mereka yang ditembak, jasadnya dibawa pergi oleh orang yang ditunjuk oleh tentara untuk dimakamkan tidak jauh dari tempat penembakan. Jasad korban dimakamkan di 3 liang.
Hari sudah gelap ketika rakyat pesisir kembali kekampung mereka. Laki-laki tua, perempuan-perempuan yang kehilangan suami dan anak yang kehilangan ayah. Tempat tinggal mereka beberapa hari dibawah daun pisang sebagai pelindung. Jagung yang masih muda membantu mengatasi rasa lapar.

Keluarga korban penembakan di Suppa, Rawe anak Rumpa, mengatakan bahwa keluarga korban pernah bersepakat untuk tidak memindahkan makam korban ke Taman Makam Pahlawan di Pare-pare.

Lahan pemakaman adalah lahan milik Djafar yang tewas ditembak pada hari itu.
Menurut Bapak Said Djafar, pada awalnya hanya beberapa keluarga korban meletakkan batu Nisan dan dengan tulisan huruf Arab. Oleh Anak dan cucu korban sekarang batu nisan diganti dan nama korban dicantumkan dengan huruf biasa. Keluarga korban yang dulu tidak mampu, meletakkan batu nisan belakangan.
Di sekeliling makam masal kemudian dibangun tembok.

Untuk mengenang peristiwa yang telah menewaskan 208 korban, di dekat tempat pembantaian dibangun monumen.

Bapak Asang dan istrinya Ibu Tahi tinggal di dekat monumen di Suppa. Ibu Tahi menceritakan sedikit tentang apa yang masih diingatnya pada hari pembantaian di Suppa. Beliau masih kecil tapi melihat langsung ketika penduduk laki-laki digiring ke lapangan (sekarang didirikan kantor Kecamatan Suppa) halaman rumah Datu. Anak-anak diberikan roti oleh tentara Belanda. Penduduk laki-laki duduk berjejer kemudian di tembak satu persatu setelah sebelumnya mereka dikatakan sebagai perampok. Bapak Asang sebagai mantan pegawai Datu Suppa tidak melihat permbantaian karena sedang berada ditempat lain.