Yvonne Rieger-Rompas

A journey in history with Ipong

Ke Tanete di Barru

Dipublikasikan: 13.06.2020

Persawahan yang sangat luas di tanah datar. Di jalan yang berkelok-kelok, dari kejauhan terlihat air terjun dari perbukitan di Bulu Dua. Pemandangan yang sangat indah. Sungai-sungai yang lebar dengan airnya yang jernih terlihat dari jembatan-jembatan di jalan poros dari Barru ke Parepare.

Pemandangan di Bulu Dua

Dari jembatan atau flyover di Pekae ke Ralla terlihat beberapa gerbong kereta api yang pernah digunakan untuk uji coba, menunggu rel kereta api selanjutnya selesai. Pemerintah sedang mengembangkan sarana transportasi kereta api di Sulawesi Selatan. Dengan Kereta Api, masyarakat dapat melakukan perjalanan dari Makassar ke Pare-Pare. Melalui perbukitan dan menyusuri pantai. Transportasi antar wilayah berbagai hasil  pertanian, peternakan dan industri semen atau bahan bakar semisal bensin mungkin dapat juga dilakukan dengan kereta api.

Seperti di desa-desa lainnya di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat dimana pembantaian terhadap rakyat sipil pada tahun 1947 terjadi, di wilayah Barru, keluarga korban yang sudah lanjut usianya saling mengenal. Dari peristiwa di Palandro, Salomoni, Kading-Lisu, Lalolang, Sumpang Binangae atau Pancana.

Keluarga korban yang mengikuti berita tentang permohonan maaf dan pemberian kompensasi dari Pemerintah Belanda, yang ditayangkan di televisi bulan September 2013 kecewa, karena tidak mengetahui adanya pendataan keluarga korban di Sulawesi Selatan.

Janda La Poto bertempat tinggal di antara sawah dan hutan di Salomoni sering mendengar suara tembakan dari bukit-bukit di dekat rumahnya. Di subuh hari yang menyedihkan, tanggal 7 Februari 1947, janda La Poto melihat banyak tentara dengan masyarakat tidak jauh dari rumahnya dan mendengar beberapa kali suara letusan. Sebelumnya, suaminya yang bekerja sebagai peronda kampung, dijemput oleh tentara Belanda. Beliau tidak mengira bahwa suaminya dibawa ketempat tersebut. Dengan anak satu-satunya yang masih kecil, ibu menunggu La Poto kembali. Siang hari keluarga dan orang kampung membawa jenasah La Poto untuk kemudian dimakamkan di Pekuburan umum di Salomoni berdampingan dengan  jenasah La Bilu dan jenasah La Baco, anak kepala Kampung Salomoni. Menurut La Tebba, ayahnya seorang petani bernama La Egeng, ditembak bersama La Poto, La Manta, Muh. Saleng, Baco Sikola, La Salatung, La Bilu, La Padani dan Muh. Ali.

Di tempat tinggalnya, janda La Poto tidak dapat mengikuti acara di televise. Setelah dijelaskan kesempatan untuk menuntut, beliau takut akan ditembak seperti suaminya dulu. Setelah minggu berlalu, beliau memutuskan untuk menuntut ganti rugi.

Ganti rugi yang diterima kemudian digunakan untuk memperbaiki makam La Poto dan merenovasi rumah serta melengkapi keperluaan pendidikan cicit-cicitnya. 

Di daftar dari Belanda yang tersusun rapih, tercantum dua nama korban berasal dari Tanette. Andi Abdul Kadir, Pabicara Toa Tanette dan Andi Abdul Muis, Sulewatang Tanette, mengawali perjalanan ke pelosok di Ralla, Tanete Riaja, Barru. Tanette atau Tanete dari bahasa Bugis, artinya adalah daerah perbukitan. Beberapa daerah berbukit di Sulawesi Selatan memiliki nama yang serupa. Tanete di Kabupaten Enrekang. Tanete di Kabupaten Bone, Tanete di Kabupaten Sidrap.

Di Googlemap, wilayah Tanete yang sangat luas berada di kabupaten Bulukumba. Pasanggrahan yang dibangun sejak pemerintahan Belanda berdiri kokoh di Tanete. Letaknya di jalan raya Bulukumba-Sinjai, tidak jauh dari tempat tinggal Karaeng Tanete. Konon ditempat ini orang Belanda sering datang bertamu.

Batoe Edja  sedang sibuk di halaman rumahnya dan nampak sangat terkejut atas kedatangan kami. Menurut sesepuh, H. Ali Muis dan Mustafa Hadi di Barru, Batu Eja yang artinya Permata adalah anak Datu Tanete, nama sebenarnya adalah Andi Ahmad. „Jelimet“ kata Batoe Edja menjelaskan namanya.

Di Tanete, di Kabupaten Barru tidak terlihat bangunan peninggalan di masa pemerintahan Belanda, namun jejak sejarahnya sangat banyak.

Datu Tanete, cucu We Tenri Ole, dari anaknya bernama Tenri Sessu, melepaskan jabatan  pada tahun 1950 setelah kedaulatan Indonesia.

Pada tahun 1909 Tenri Sessu dibuang Belanda ke Medan, (D.A.F. Brautigam, Tijdschrift 1914. Bataviaasch Niewsblad 19 Mei 1924) padahal tahun 1906 Tenri Sessu dan kakak iparnya, La Mappa, bersama Arung Kading menerima medali penghargaan (Het niews van den dag voor Nederlandsch-Indie 12-04-1906, De Locomotief 21-04-1906 dan De Preanger-bode 12-04-1906)).

Di abad 19, Belanda menyerang dan memaksa Raja Tanette, La Patau, tunduk kepada Belanda (J.C. van Rijneveld, Veldtogt der Nederlanders of het eiland Celebes in de Jaren 18241825, Breda 1840. Dr. Edward L. Poelinggomang, Mozaik Sejarah Sulawesi Selatan-Sulawesi Barat, Pustaka Sawerigading, 2015). Tjolli Poedjiye (Colli Pujie) sebagai anak perempuan La Rumpang, raja Tanette yang berasal dari Lamuru, berhasil mengumpulkan naskah-naskah La Galigo, Bahasa Bugis, ketika beliau berada dalam tahanan Belanda (Dr. B.F. Matthes, Etnologie van Zuid-Celebes, 1875). 

We Tenri Ole, anak Collie Pujie diangkat oleh kakeknya menjadi Ratu Tanette. Mendapat penghargaan dari Kerajaan Belanda (D.A.F. Brautigam , Tijdschrift 1914).

Batoe Edja mengisahkan  kedatangan dan pendudukan Jepang tahun 1942 bahwa di Sulawesi Selatan tidak ada lagi sekolah seperti sebelum Belanda pergi. Jepang membuat sekolah dibawah pemerintahan angkatan lautnya, dan semua pemuda diharuskan mengikuti latihan bersama dengan tentara Jepang. Ketika tentara sekutu mulai menyerang Makassar, anak-anak pamongpraja termasuk beliau ditempatkan di dekat kubu pertahanan Jepang di Leang-Leang, Maros. Jepang kekurangan tenaga dan mereka kehabisan makanan. Menurut Batoe Edja, siasat Tentara Jepang dengan mengumpul anak-anak pamongpraja didekat kubu pertahanan, mereka akan mendapat pelbagai bantuan dari para pamongpraja. Anak-anak pamongpraja mendapat latihan sebagai tentara.

Hubungan beliau dengan dua nama yang tercantum di daftar dijelaskannya : “Andi Abdul Kadir adalah paman saya, saudara ayah, sekaligus ayah mertua saya. Ibunya berasal dari Jawa. Dulu kami menikah atas kesepakatan orang tua. Abdul Muis adalah kakak ipar saya, berasal dari Citta, menikah dengan kakak saya yang bernama Hadjerah“.

„Saya sedang berada di rumah Abdul Muis di Lalabata ketika tentara Belanda datang menjemput dengan jeep, mereka sangat bergegas sehingga mereka meninggalkan saya. Tapi akhirnya saya tertangkap juga, dan  sebagai tawanan, di Pancana saya harus membantu tentara KL Koninklijke Leger sebagai penterjemah“. Abdul Kadir diambil dirumahnya tidak jauh dari tempat tinggal Abdul Muis.

Salah satu keluarga tentara Belanda dari Speziale Troep Westerling menjabat sebagai Pabicara Tanete setelah Andi Abdul Kadir. „Semua gerak-gerik kami diketahui oleh tentara Belanda“, ujarnya.

Sebagai tawanan, Batoe Edja dibawa ke Pasar Baru bersama tawanan lainnya. Karena tentara Belanda masih berkomunikasi ke tempat lainnya, beliau harus menunggu sampai giliran akan disetrom. Tapi beruntung, ada yang melindungi. „Saya dipanggil ke pos polisi Lisu. Rupanya kakak sudah menunggu  disitu. Setelah memberikan sejumlah perhiasan yang dipakainya, saya dibebaskan dan diperbolehkan ikut dengan kakak saya“.

Di Pasar Baru tidak hanya penembakan terhadap rakyat yang dicurigai sebagai pejuang. Dua orang harus berkelahi, yang kalah ditembak, “Seperti gladiator“, kata Batoe Edja.

Keluarga korban penembakan di Pasar Baru-Kading, janda La Paddau, janda La Rahim dan janda La Suke menuntut dan menerima gantirugi dari pemerintah Belanda.