Yvonne Rieger-Rompas

A journey in history with Ipong

Ke Totolisi

Dipublikasikan: 04.02.2020

Bulan Maret 2013 keluarga janda Hadolla yang tinggal tidak jauh dari Totolisi memperkenalkan kepada beberapa anak korban peristiwa penembakan yang terjadi tanggal 3 bulan 2 tahun 1947 di Totolisi.

Letak Taman Makam Korban 40.000 jiwa di Totolisi diseberang jalan Veteran. Jalan poros Majene ke Mamuju sedang diperlebar sehingga papan keterangan makam disimpan di rumah salah satu warga.
Dari Mesjid Syuhada 45 di ujung jalan Veteran diumumkan agar keluarga korban peristiwa penembakan tahun 1947 di Totolisi berkumpul di depan Mesjid.
Eccu, anak korban Borahima yang tewas ditembak di pantai Totolisi, menerima kami duduk di rumahnya tidak jauh dari Mesjid.

Anak Mondi, anak Daali, anak Hadel, anak Lamari, anak Caco Saelus, anak Kambado, anak Bora dan anak Kandalang.
Anak-anak korban menceritakan bahwa di Totolisi hidup seorang komandan gerakan pendukung Merah Putih bernama Kandalang. Ditepi pantai, pagi hari ketika air masih surut, laki-laki duduk berjejer. Eccu berjalan di air yang sedang pasang dan menunjukkan tempat dimaksud. Disini mereka ditembak. Kampung kemudian dibakar tambahnya.

Sesepuh Bakar (1932), dulu dikenal dengan nama Bakri, menceritakan bahwa 31 orang yang ditembak, Sebelumnya jam 10 malam semua dikumpul dirumah kepala dusun. Keesokan paginya mereka dibawa kepinggir pantai dan ditembak. Dari tepi pantai keluarga melihat penembakan itu. Nama yang masih diingat adalah Kandalang, Igesa, Bora, Ibrahim, Bahe, Buraera, Kaseng, pamannya yang bernama Kemo. Sepupu-sepupu Borahima, Jafar dan Lamari. Kemenakan bernama Haya, iparnya yang bernama Hadeng, Bilo bapaknya Johar.
Awalnya karena Kandalang ditangkap. Setelah bebas, Kandalang mempengaruhi keluarga dan kenalan untuk membantu laskar-laskar, tapi mereka tidak punya senjata seperti laskar di hutan. Senjata baru datang jauh belakangan ketika ada Itaha dan penembakan terulang lagi tetapi hanya dua orang yang tewas. Semua dianggap sebagai laskar Gapri 531.
Menurut Bakar peristiwa di tepi pantai terjadi tanggal 3 Februari tahun 1947. Rumah beliau dulu dibakar seperti rumah penduduk lainnya tapi tidak ludas. Dari tepi pantai jasad para korban ditarik atau digotong oleh keluarga kemudian di mandikan dirumahnya dan dimakamkan di tempat yang sekarang dijadikan Taman Makam Korban 40.000 jiwa.
Beliau fasih berbahasa Indonesia karena pernah merantau dan tinggal lama di luar Sulawesi.

Penyiksaan terhadap ayahnya dilihat langsung masih dalam ingatan Rasyid (1940).
Dari rumah kepala dusun ayahnya harus dipapah ketempat penembakan.