Yvonne Rieger-Rompas

A journey in history with Ipong

Ke Bandar Buat

Dipublikasikan: 14.02.2020

Pada tanggal 10 Oktober 1945, Pasukan Sekutu dipimpin oleh Brigadir Hutchinson (dikenal sebagai Mayor Anderson-Darwis K-1926) dan NICA tiba di Emma Haven, Teluk Bayur, Sumatra. Kemudian mereka menduduki gedung-gedung, rumah-rumah besar bekas kantor atau asrama bekas Jepang.
Kedatangan Pasukan Sekutu di Sumatra dan tempat lainnya di Indonesia ditetapkan oleh SEAC (Komando Sekutu Asia Tenggara) yaitu untuk membebaskan tawanan perang, memulangkan Jepang ke negerinya dan menjaga keamanan serta ketertiban umum hingga pemerintahan peralihan dapat berfungsi kembali. Hutchinson tidak diperkenankan untuk campur tangan dalam urusan pemerintahan Republik, baik sipil maupun militer (Sejarah Perjuangan Kemerdekaan 1945-1949 di Kota Padang dan sekitarnya – Dr. Mestika Zed, M.A. dkk, 2002 hal.109).

Tidak jauh dari Padang, di Indarung Belanda mendirikan pabrik semen pada tanggal 18 Maret 1910 dengan nama NV Nederlandsch Indische Portland Cement Maatschappij (NV NIPCM- www.semenpadang.co.id/). Pabrik semen yang kini diberikan nama Semen Padang menjalankan produksinya sampai saat ini.

Cerita beberapa saksi mata
Sabtu tanggal 18 Januari 1947 (Catatan Darwis K), ketika hari pasar di Bandar Buat, tentara Belanda melancarkan serangan dengan pesawat udaranya. Bapak Munir (1927) menceritakan bahwa serangan udara dilakukan sekitar pukul 15.00. Sebagian besar yang tewas adalah perempuan yang saat itu sedang belanja dan para pedagang.
Ratusan orang luka parah dan tewas. Namun tidak ada yang dapat menceritakan jumlah yang tepat.
Sore hari itu juga Bapak Munir dan beberapa temannya mengumpulkan ratusan korban luka parah dan mayat-mayat kemudian dengan gerobak atau dipikul dibawa ke lapangan SR Kabun (Sekolah Rakyat, 1935) yang jaraknya sekitar 500m dari pasar Bandar Buat. Palang Merah menangani korban yang luka parah.

Sebagian perempuan yang sementara menyusui tewas mendekap bayi-bayi dan anak-anak kecil mereka. Pedati dagangan yang berjalan dikendarai oleh tukang pedati yang telah tewas tertembak

Takut akan serangan berikutnya, setelah mengumpulkan para jenasah, bapak Munir dan Bapak Kamar (1927) serta beberapa temannya bergegas pergi kehutan. Baru beberapa hari kemudian kembali dan bersama masyarakat yang kembali dari tempat persembunyian memasukkan mayat-mayat yang dikumpulkan kedalam satu lubang.

Bapak Mansur Raja Marah (1930) menceritakan bahwa dari tempat persembunyiannya di Indarung beliau mendengar suara pesawat dan rentetan tembakan. Sekembalinya dari tempat persembunyian beliau masih menemukan kurang lebih 40 jenasah di lapangan sekolah, Wajah jenasah sudah tidak dapat dikenal. Beliau turut menguburkan mayat-mayat didalam satu lubang besar.
Setelah pesawat pergi janda Nawapin mencari suaminya yang bekerja sebagai pedagang di pasar Bandar Buat dan melihat mayat bergelimangan. Oleh kenalannya beliau diberitahukan bahwa suaminya tewas.

Pada tanggal 19 dan 20 Januari 1947, dilindungi dengan pesawat udara tentara Belanda memasuki Indarung (Darwis K. 1926).