Yvonne Rieger-Rompas

A journey in history with Ipong

Ke Pamboang

Dipublikasikan: 04.02.2020

Sejarah mendukung Merah Putih di lingkungan Galung-galung, 14 Km dari kota Kabupaten Majene, Sulawesi Barat masih dapat didengar dari pelaku dan saksi sejarah pada tujuh tahun lalu..

Nurdin
Sesepuh desa, Imam Mesjid lingkungan Galung-Galung, Pamboang, bapak Nurdin mengatakan bahwa peristiwa di depan rumah Maradia Pamboang terjadi pada tahun 1947. Tanggal 2 bulan 3. Kemudian beliau menunjukkan makam korban tertembak, Abdul Yahya dan Abdul Waris yang tidak dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Pamboang. Tercantum 2-3-1947.
Bapak Nurdin hanya mendengar peristiwa penembakan. Tentara Belanda mengumpulkan rakyat untuk menyaksikan langsung pembantaian. Pemuda yang dicurigai hendak membantu pejuang juga ditembak. Penembakan juga terjadi di tepi sungai dekat pintu air. Banyak teman-temannya yang tewas.
Bapak Nurdin saat itu sedang bersembunyi karena membunuh seorang Kapten Belanda dan seorang pedagang Karet. Beliau melarikan diri ke Somba, Totolisi sampai Mamuju.
Setelah mendengar bahwa suasana sudah tenang dan aman, beliau kembali ke Pamboang. Beberapa hari kemudian beliau ditangkap dan dipenjarakan di Makassar.

Munira tetanga Bapak Nurdin, anak Buraera
Tentara Belanda mencari ayah Munirah, Buraera, pendukung Merah Putih di Pamboang. Oleh teman-temannya dibawa ketempat persembunyian setelah tertembak dikakinya.
Karena tidak dapat menunjukkan tempat persembunyian, Makarang, istri Buraera dan Munirah dipenjarakan di Bangae.
Dari teman-teman ayahnya, Munirah mengetahui bahwa tentara Belanda memaksa warga desa untuk mencari tempat persembunyian Buraera lalu membunuhnya. Jika mereka tidak lakukan maka merekalah yang akan dibunuh.
Munira dan ibunya dibebaskan dari penjara setelah Buraera dibunuh oleh temannya sendiri.
Setelah dewasa Munirah merantau ke Jawa Timur sebagai pedagang.

Biri anak Adam
Adam bekerja sebagai petani ditembak karena tidak memberitahukan tempat persembunyian Buraera.

Rosmini anak Kalaeng.
Pekerjaan Kalaeng sebagai juru tulis di kantor Raja. Hari terahir Rosmini melihat ayahnya ketika menghantarkan makanan dan melihat ayahnya dipekarangan rumah Raja dengan tangan terikat.
Ibunya mendapat kabar bahwa Kalaeng tewas ditembak tentara Belanda. Ibu Rosmini tidak mengetahui ayahnya tewas dimana.

Janda Hae tinggal didusun Lamaru.
Hae seorang pedagang tembakau dan sering belanja ke Kalimantan. Keluarga hanya mengetahui bahwa Hae dijemput dan dibawa kembali sudah tewas, dibungkus dengan daun pisang. Menurut keluarga, 3 orang lainnya tewas bersama Hae. Dimakam Hae di Taman Makam Pahlawan Pamboang tercantum bahwa Hae meninggal tahun 1946.
Janda Hae meninggal dunia sebelum tuntutan ganti rugi tuntas