Yvonne Rieger-Rompas

A journey in history with Ipong

Palembang dan Jambi

Dipublikasikan: 22.02.2020

Waktu kami kecil, salah satu tempat main kami di kebun karet di jalan Ariodillah, Palembang, tempat main petak umpet. Kadang-kadang bikin bola bekel dari getah pohon karet. Disamping rumah tempat tinggal kami, keluarga Oemar Salim asal Jambi, mereka memiliki anak-anak bernama Tati, Maupa dan Kusbini, teman bermain. Di dekat lapangan diseberang rumah ada ngkoh Tan. Kalau air ledeng di bekas rumah orang Belanda sedang mengalir, bersama adik ibu kami, Lientje, antre air dengan masyarakat lain. Air ledengnya untuk memenuhi kebutuhan di dapur, untuk memasak karena air dari sumur agak berminyak. 

Sampai dirumah air yang tertetes dari ember kadang membuat adik bungsu kami, saat itu berusia 3 tahun, terpeleset. Kalau hari Lebaran, sesudah sholat Ied, Ngkoh membagi-bagikan angpau ke anak-anak. Sepertinya beliau tahu ada anak-anak yang tidak kebagian, beliau akan mengundang dan memberikan hari berikutnya.

Di depan rumah di bukit seberang jalan ada sederet rumah petak, asrama militer.

Dulu belum banyak kendaraan, becak pun tidak ada. Ke SD Methodis tempat kami bersekolah yang letaknya di jalan raya kami harus jalan kaki, lewat lorong-lorong sekitar 1 km dari tempat tinggal. Ibu mengajar di SMP 4 di dekat rumah. Sekarang menjadi SMP 3. Jika murid-murid dari SMP 4 mengisi acara di RRI, kami boleh berjalan dibelakang murid-murid yang dengan seragam putih berbaris rapih. Di RRI kami boleh menonton mereka menyanyi. Tahun itu belum ada televisi.

Sumatra adalah salah satu pulau terkaya di Indonesia. Perkebunan karet, kopi, teh dan hasil tambang berupa batubara, minyak dan gas serta timah ada di bagian Selatan. Di pedalaman di banyak lahan atau perkebunan terlihat sumur minyak. Pipa kecil dari sumur minyak di daerah dibangun untuk menyalurkan minyak sampai ke tempat pengilangan di Plaju dekat Palembang. Pipa-pipa besar dapat dilihat di sepanjang jalan raya dari Jambi ke Palembang. Perkebunan karet di Sumatra kini berubah menjadi perkebunan kelapa sawit atau bangunan. 

Kalau jaman Belanda, segala potensi dari pulau Sumatra selalu dimanfaatkan untuk kepentingan penjajahan tanpa memberikan kontribusi yang berharga untuk masyarakat setempat, sekarang untuk kepentingan siapa mungkin masih ada yang bertanya. 

Bapak H. Hasan (1936 – Mantan Bupati Bungo Tebo, Jambi), menulis dalam buku biografinya  bahwa kehidupan Suku Anak Dalam selalu berpindah-pindah untuk menghindari penjajah karena minimnya kemampuan untuk mengadakan perlawanan. Mereka memilih untuk tinggal di hutan pedalaman di Jambi, walau terisolir karena tidak melakukan hubungan dengan masyarakat ataupun penduduk lain. Kalau bangsa Indonesia merasakan kemerdekaan sejak 17 Agustus 1945, Suku Anak Dalam merasa telah merdeka lebih dulu karena mereka tidak pernah merasa dijajah. Mereka memilih hidup terisolir daripada harus dijajah bangsa asing. 

Di tepi sungai Musi berseberangan dengan benteng Kuto Besak terdapat Kampung Kapten yaitu kampung dimana Tjoa Ham Hin diangkat oleh Belanda menjadi kapiten. Ham Hin bekerjasama dengan Pemerintah Belanda untuk mengawasi masyarakat Cina pendatang dan yang berdomisili didaerah Sumatra bagian Selatan.

Orang Jawa didatangkan Belanda ke Sumatra sebagai buruh di pertanian,  pertambangan atau buruh bangunan. Mereka ditempatkan di daerah yang kemudian disebut daerah kolones. Banyak nama desa dimana orang Jawa bermukim kemudian diberi nama seperti nama asal desa kedatangan mereka di Jawa. Ada desa yang bernama Bagelen, Purworejo, Yogyakarta dsb. (Jawa Tengah). Diantara mereka ada yang didatangkan sebagai perantai. Disebut perantai karena kaki mereka dirantai agar tidak melarikan diri selama mereka bekerja untuk Belanda.

Menurut bapak Adnan (1929), seorang pemuda bernama Darmo didatangkan ke Tanjung Enim untuk bekerja di Bukit Asam Mjnen. Setelah tidak lagi dipekerjakan, beliau bertani dan menetap di daerah Muara Enim. Daerah itu kemudian dinamakan desa Darmo.

Ketika Belanda datang ke Sumatra keduakalinya, Belanda disambut dengan perlawanan dari rakyat setempat. 

Di daerah Palembang terjadi perang 5 hari (1-5 Januari 1947) (operatie “Continentenplan”)

Bapak H. Nur Hasan (18.08.1928) adalah seorang mantan tentara Heiho di Malaysia yang dipulangkan kembali ke Palembang karena kekalahan Jepang. Beliau bersama pemuda lainnya dari Sumatra Bagian Selatan dipanggil untuk bersatu melawan Belanda.

Beliau mengatakan bahwa pimpinan, A Gani, di Palembang menyampaikan kepada pemuda dan masyarakat untuk menolak kembalinya Belanda yang mengambil hasil bumi di Sumatra. Selain pertempuran, banyak daerah dibumihanguskan oleh kedua belah pihak.

Ketika masih kecil, bapak Nur Hasan, demikian juga dengan masyarakat sangat takut bila melihat orang Belanda atau polisi Belanda. Mereka takut ditangkap. Hanya pada hari-hari tertentu misalnya hari Ulang Tahun Ratu Belanda, masyarakat pesta bersama. Setelah kedaulatan Indonesia bapak Nur Hasan bekerja di PT Kereta Api Tanjung Enim yang dibangun oleh Belanda pada tahun 1921.

Bapak Adnan (1930) berasal dari Ulak Baru di Baturaja. Beliau bergerilya dan  kemudian dipekerjakan di Pertambangan Batu Bara di Tanjung Enim yang sebelumnya dirusak oleh Belanda agar tidak digunakan oleh Jepang. Nama perusahaan dulu dikenal dengan BAM.

Pada sekitar tanggal 21-26 Juli 1947 Belanda (Operatie “Utrecht”) berhasil memenangkan pertempuran melawan TNI, wilayah Muara Enim dikuasai oleh Belanda . Tanjung Enim dengan Batu Bara yang dibangun tahun 1919 (http://ptba.co.id) berada di wilayah Muara Enim.

DSC01995

Bapak Opi menceritakan bahwa semua rakyat membantu pejuang. Roti yang mereka terima dari pemerintah diisi peluru untuk di berikan kepada pejuang yang bergerilya di hutan-hutan sekitar Lahat. Banyak penduduk ditangkap Belanda dipekerjakan di pertambangan setelah sebelumnya disiksa. Mereka yang dicurigai ditangkap oleh Belanda dan tidak pernah kembali lagi ke keluarganya.

Bapak Mansur di dusun  Muara Enim bercerita bahwa saat kedatangan tentara Belanda dari Baturaja hari sudah sore. Beliau dan anak-anak lainnya sedang bermain di sungai Enim. Awalnya rakyat setempat sama sekali tidak mengadakan perlawanan namun lama kelamaan ayah dan teman-teman ayahnya berjuang sebagai laskar dan beberapa tewas di sungai Serdang. Tentara Belanda datang pagi-pagi ketika pejuang masih tidur di pos mereka di tepi sungai Serdang. 

Di daerah Jambi dan sekitar, dikenal dengan tanah minyak, terjadi perlawanan. TNI, kaum buruh pertambangan minyak, dan rakyat menolak kedatangan Belanda. Perlawanan ini telah menewaskan kaum buruh dan beberapa masyarakat sipil lainnya. 

Pada tahun 1949 Jambi diserang oleh tentara Belanda (Operatie Ekster?). Dengan pasukan terjun payungnya, tentara Belanda menyerang Jambi, Bajubang dan sekitarnya.

Bapak H. Hasan mendampingi perjalanan di Jambi pada tanggal 27 November 2013.

Di Bajubang

Perlawanan oleh buruh menewaskan 40 orang. Kepala Rumah Sakit dan 3 orang India ditembak mati.

(Foto Rumah Sakit di kompleks pertambangan minyak di Bajubang, sekarang Rumah Sakit Pertamina yang sudah tidak digunakan lagi) 

Puluhan rumah-rumah mewah pegawai di selingi dengan taman yang indah dan terawat di kompleks ini sedang tidak berpenghuni. 

Di Museum Perjuangan Rakyat Jambi disimpan laporan tentang beberapa peristiwa di daerah Jambi antara lain:

Di Tempino, Banyak buruh yang menjadi korban. Seorang ibu yang memimpin wanita dan anak-anak untuk menyingkir ditangkap dan ditembak. Anaknya yang berusia 3 dan 4 tahun berada disampingnya. 

Pada tanggal 1 Januari 1949 rombongan Let. Simatupang dengan 14 orang kawan-kawannya disuruh duduk dipinggir hutan kemudian ditembak. Dalam perlawanan terhadap tentara Belanda masyarakat sipil yang adalah buruh 30 orang tewas. 

Di Kenali Asam. Banyak sumber minyak yang terbakar (dibakar oleh Pejuang) selama 3 bulan. Perlawanan terjadi menewaskan 50 buruh dan 20 TNI. 

Di Kuala Tungkal terjadi pertempuran antara pasukan anggota Selempang Merah. 300 anggota Pasukan Selempang Merah dan 40 tentara Belanda Tewas.

Bapak Hariono Ruslan berasal dari Probolinggo yang kini menetap di Palembang. Ayahnya sebagai asisten Wedana dijemput oleh IVG dan ditembak oleh tentara Belanda pada 29 Juni 1949. Setelah terakhir menjabat LetKol dan menjadi Bupati di Bangka dan Belitung, dimasa pensiunnya beliau menjabat ketua harian DHD 45 di Palembang.

Beliau memberikan sebuah buku yang didalamnya tercantum “Tidak ada lagi pelarian, semua berdoa pada Tuhan dalam siraman peluru yang dibuat alat mematikan dan tidak ada ampun, hanya bisa lolos/hidup dengan bantuan Tuhan karena pelarian tidak ada, mau kemana karena semuanya diliputi perang tidak ada yang tidak terlibat perang. Palang Merah yang berada dibawah rumah sudut di simpang tiga tembusan jalan Kantor Pos ke 24 Ilir, atau rumah keempat dari rumah Raden Hanan, telah penuh mayat-mayat yang dikumpulkan dari sekitarnya yang terdiri dari berbagai warna kulit dan suku, ada suku India, ada suku Cina, tetapi yang banyak adalah suku Indonesia laki-laki dan perempuan” (Darius, 2001:16-18)