Yvonne Rieger-Rompas

A journey in history with Ipong

Ke Amparita

Dipublikasikan: 27.01.2020

Bapak Lahmuddin berusia 9 tahun ketika tentara Belanda mencari pendukung Kemerdekaan Indonesia di Amparita 11. Februari 1947. Orang-orang diharuskan keluar rumah dan berkumpul di pasar Amparita.
Adam, ayahnya adalah pegawai Sulolipu, pabicara Amparita, harus menunjukkan siapa perampok pendukung Merah Putih diantara laki-laki yang sudah dikumpul. Namun karena tidak tahu, Adam disuruh duduk. Tentara Belanda mengenal Adam karena Adam pernah di tahan dan disiksa di penjara di Enrekang,
La Daleng yang saat itu duduk disamping Adam ditunjuk oleh seseorang kemudian ditembak.
Bapak Lahmuddin mendengar bahwa 1 orang ditembak dirumah, Ambona ibu H. Djiba, karena tidak ikut berkumpul dipasar.

Ambo na Alawi, Puangnasarijo ipar Petta Bau, saat itu tugasnya sebagai wakil kepala kampung. Karena Puang Bedu ditahan Belanda, Puang Nasaridjo harus dapat menunjukkan kepada tentara Belanda penjahat dan perampok diantara warganya.
Kandetjing yang dikenal sebagai orang nakal jago ayam di kampung Amparita ditunjuk oleh Puangnasarijo sebagai orang jahat namun Kandetjing mengelak membuat tentara Belanda mengambil keputusan agar Puangnasarijo berkelahi dengan Kandetjing. Yang kalah ditembak. Puangnasaridjo kalah kemudian ditembak.

Pekerjaan ayah Lawenne (1942), Labangki, adalah petani. Karena rambutnya agak panjang, La Bangki ditembak.
Pada siang hari Puang Bedu datang diantar oleh tentara Belanda dan melihat iparnya tergeletak tewas. Setelah mendengar bahwa iparnya kalah berkelahi dengan Kandetjing. Puang Bedu memarahi Kandetjing. Kedua-duanya kemudian ditembak.

Hujan yang turun di hari itu membuat tentara Belanda berhenti mencari pendukung Merah Putih di Amparita. Air hujan mengalir menjadi merah karena darah.

Awalnya jasad para korban sebanyak 52 yang tewas ditembak dipasar serta 1 yang tewas dirumah dimasukkan kekubangan tempat kerbau mandi dan ditimbun tanah. Namun beberapa tahun kemudian dikeluarkan, dimakamkan satu persatu di Taman Makam Pahlawan Amparita.

Setelah peristiwa penembakan, Penduduk sangat marah kepada Imara karena telah menunjuk beberapa warga Amparita sebagai penjahat dan perampok. Masyarakat kemudian menghukum Imara.

Lahmuddin selain bekerja di dinas urusan agama, sempat diangkat menjadi sekretaris Veteran di Sidenreng Rappang.

Anak La Muda, Ajibah, menjadi jururawat.

Alawi nama panggilan Alwi anak La Miru yang dikenal dengan nama Puangnasarijo disekolahkan ke Parepare dan Makassar sampai menjadi guru oleh tantenya La Cincing, istri puang Beddu. Namun karena tidak mendaftar sebagai salah satu anggota partai yang saat itu diharuskan, beliau harus melepas jabatan sebagai seorang guru dan bekerja di tempat lain.

La Wenne anak La Bangki mengikuti sekolah rakyat dan menjadi petani meneruskan pekerjaan ayahnya.