Yvonne Rieger-Rompas

A journey in history with Ipong

Ke kampung Coka

Dipublikasikan: 22.01.2020

Kampung Coka letaknya di desa Barangpalie, Kecamatan Lanrisang, Pinrang, Sulawesi Selatan. Tidak jauh dari Desa Padakkalawa Kecamatan Mattiro Bulu. Tahun 1950 Kedua-duanya berada di wilayah Swapraja Sawito, Di peta Belanda tercantum nama Barang 1 untuk kampung ini. Bapak Mondeng Pemaga (Almarhum) dan H. Hasim, sesepuh Kampung Coka, tinggal tidak jauh dari Monumen 40.000 jiwa. Sebagai saksi mata peristiwa mereka menceritakan bahwa dulu telah terjadi pembantaian di kampung Coka, Sekitar 160 orang tewas ditembak oleh tentara Belanda. Seorang Penduduk kampung Coka bernama La Tagiling ditembak saat itu bersama laki-laki penduduk dari desa lain yang digiring ke kampung Coka. Di laporan van Rij en Stamm tahun 1954 tercantum bahwa di daerah Padakalawa (kompleks) tercatat 124 korban.
Iraja janda Lasili dan 3 janda lainnya beserta beberapa anak korban dan saksi mata menceritakan bahwa pagi subuh mereka dijemput oleh tentara Belanda. Mereka tidak tahu tepatnya kapan peristiwa itu terjadi namun mereka ingat bahwa saat itu sesudah orang Jepang berlalulalang di daerah Pinrang dan sebelum tentara Jawa datang.
Seperti bapak Mondeng, La Hamma duduk bersama laki-laki yang dikumpul namun mereka tidak ditunjuk atau diambil dari tempat duduk mereka untuk dipisahkan. Mereka yang dipisahkan kemudian ditembak dengan pistol dikepalanya. Ibu Iraja melihat luka di dahi suaminya.
Laisa (1939-Almarhum) anak La Bicu dan Iaja tinggal di desa Padaelo. Beliau menceritakan bahwa dulu hanya beberapa rumah di kampung Paserang tempat tinggal mereka ketika peristiwa penembakan terjadi. Ayahnya sedang bersiap pergi ke kebun ketika suara orang memanggil. Laisa terkenang, Ibunya saat itu sedang hamil besar. La Bicu, Iaja, Laisa, Lapalangi dijemput oleh dua orang tentara. Mereka disuruh ikut mendekati rumah lainnya dimana telah banyak orang menunggu bersama tentara-tentara. Kemudian mereka digiring menjauhi kampung tempat tinggal mereka. Ketika melewati kampung Punia beberapa orang berlarian mungkin karena kepanasan karena api. Kampung Punia terbakar.
Matahari sudah tinggi ketika mereka sampai di dekat kampung Coka. Disana mereka membelok kekiri ke semak-semak dengan pohon bambu. Semua disuruh duduk, namun laki-laki masih harus lanjut dibawa ketempat lain. Dari tempat duduknya, Laisa dengan ketakutan mendengar suara tembakan.
Tentara memerintahkan agar perempuan dan anak-anak yang duduk terpisah pulang ke rumah masing-masing setelah hampir sore. Mereka diminta untuk melihat dan mengambil jenasah laki-laki keluarga mereka untuk dibawa pulang. Tanpa mengetahui bahwa suaminya telah tewas, Iaja mengajak anak-anaknya, Lapalangi dan Laisa, pulang karena sakit perut. Diperjalanan pulang mereka jumpa Larincing saudara ayahnya yang sedang memikul seseorang. “Mateni Ambomu“ kata Larincing menunjuk ke mayat ayah yang dipikulnya.
Ditempat penembakan, Larincing (Almarhum) duduk dengan H. Abd. Rahman anak Made Ali (1938) di kumpulan laki-laki. Mereka melihat ketika seorang Aru menunjuk ke Labicu, La Sumali dan Made Ali kemudian dengan pistol ditembak dikepala oleh tentara Belanda. Demikian juga dengan laki-laki lain yang ditunjuk.
Setelah lewat Magrib mereka sampai kembali di Paserang dan menyiapkan pemakaman di Mesjid. Disitu mayat-mayat dimandikan kemudian dimakamkan dipemakaman umum. La Bicu, La Sumali dan Made Ali dimakamkan dalam satu lubang. Iaja tidak ikut memakamkan suaminya. Beberapa jam kemudian, sebelum subuh, Inaha (Almarhumah), anak bungsu Labicu dan Iaja lahir.