Yvonne Rieger-Rompas

A journey in history with Ipong

Ke Makassar

Dipublikasikan: 12.02.2020

Makassar adalah ibu kota Propinsi Sulawesi Selatan. Walau hanya 4 tahun berdomisili di kota Daeng banyak yang indah masih terkenang.
Tempat tinggal kami di depan Asrama tentara Matoangin, di jalan Kakaktua. Sebelumnya di Pasanggrahan Makassar di depan pantai Losari. Perahu sampan berlalu lalang dilaut dan banyak orang latihan atau mengadakan pertandingan ski air. Sering juga burung-burung elang berterbangan di pantai mengintai mangsa di laut.
Ayah bekerja di Makassar kota dan di Mandai. Hari minggu kami boleh ikut ke Mandai. Kadang berhenti makan ikan bolu panggang di pondok-pondok dekat empang di jalan menuju Mandai. Kami bersekolah di Jalan Sungai Sadang. Ibu mengajar di Jalan Gunung Batu Putih. Banyak sanak saudara saat itu, di jalan Sawerigading, di Tello, di Sambung Jawa.
Seorang guru olah raga, kerabat kerja ibu tinggal di Kampung Ambon dekat stadion Matoangin, kini stadion Andi Mattalatta, selalu menjaga kami jika ayah bertugas ke daerah lain mengupgrade pemancar telekomunikasi bandara udara di Indonesia bagian Timur. Anna Angkotamani nama beliau, adalah salah satu pelatih jago athletik Rieupassa dari Makassar di tahun 1960an.
Ada juga yang menyedihkan. Di Makassar adik kami dilahirkan namun hanya berusia 12 hari. Dirawat di rumah sakit Stella Maris, wafat dan dimakamkan di pekuburan di Panaikang.
Makassar sangat berbeda pada tahun 2011 kemajuan pembangunan terlihat dimana-mana. Pasanggrahan Makassar sudah berubah menjadi hotel megah berbintang kelas atas. Di Jalan Kakaktua dibangun perkantoran dan Ruko. Pohon-pohon yang besar dan rindang disepanjang jalan Kakaktua, dari ujung rumah sakit Labuan Baji sampai ujung Apotik Matoangin tidak terlihat lagi. Sanak saudara banyak yang telah berpulang atau pindah ke daerah lain di Indonesia.

Desember 2011.
Setelah upacara di Balongsari, rombongan bapak Jeffry Pondaag, Pengacara ibu Liesbeth Zegveld, Wartawan Piet de Blaauw dan Alex Koning datang ke Makassar mengikuti upacara peringatan 11 Desember. Peringatan diberlakukannya Staat van oorlog en van beleg (SOB-1946) yang merengut ribuan jiwa masyarakat dan pejuang di Sulawesi Selatan.
Kedatangan rombongan diketahui dan didukung oleh pemerintah setempat dengan penyediaan fasilitas akomodasi dan transportasi selama rombongan berada di Sulawesi Selatan.
Beberapa anak korban hadir di upacara. Ibu Hajarah Regge (1942) tinggal di jalan Regge, Makassar. Beliau adalah anak bungsu dari 3 bersaudara daeng Regge. Pekerjaan daeng Regge sebagai penjual arang. Tewas ditembak bersama masyarakat lainnya yang dikumpul dan di jemur di Kalukuang.
Ibu Nurung (1930) tinggal di Jalan Tinumbu anak Daeng Kule pandai besi pembuat parang, tewas ditembak di Maros. ibu Nurung melihat langsung ketika ayahnya.ditembak.
Daeng Ngago (1925) anak Kepala Kampung Yotta daeng Patobo yang tewas di peristiwa di Kaluku, Maros.

Turut dijemur dan menyaksikan penembakan di Kalukuang adalah ibu Pauline Rannu (1927), lebih dikenal dengan nama Syarifah. Saat itu beliau bekerja sebagai perawat di Persatuan Islam Dr. Tomoliwu. „Westerling berada bersama tentara lainnya disaat penembakan, mereka yang dipanggil namanya ditembak“ kata ibu Rannu.
Ibu Rannu masih ingat wajah Westerling, dan beliau pernah ke Irian Jaya ingin bertemu dengan Westerling.

Di Taman Makam Pahlawan yang ditangani oleh Dinas Sosial Propinsi Sulawesi Selatan di Panaikang dekat Batua dimakamkan banyak korban penembakan yang terjadi disekitar Makassar. Peristiwa di Batua, di Djongaya, di Kalukuang dan di Tanjung Bunga tercantum di laporan van Rij en Stam tahun 1954. Dari cerita anak korban yang didata diantara makam-makam pindahan terdapat makam pindahan dari Gowa daerah Gowa.

Sebelum permintaan maaf disampaikan oleh pemerintah Belanda kepada keluarga korban di Bulukumba, di Polewali, Parepare dan di Pinrang pada bulan September 2013, beberapa langkah awal selain pengumpulan bukti dilapangan dilakukan. Penelusuran di desa asal tempat tinggal karena peristiwa dan saksi mata yang mengetahui berada di desa itu.

Tanggal 1 April 2013 ibu Liesbeth Zegveld selaku pengacara keluarga korban mengadakan telewicara melalui Skype, mendengar langsung cerita dari keluarga korban dari Bulukumba. Bapak Jeffry Pondaag yang menjembatani keluarga korban menuntut hak mereka menerjemahkan pertanyaan dan jawaban dari dan ke bahasa Belanda.

Tanggal 26 Juni 2013 berita baik disampaikan oleh Ibu Liesbeth Zegveld melalui Skype didengar langsung oleh keluarga korban bahwa kasus tuntutan mereka telah dimenangkan dan 10 janda korban akan menerima ganti rugi dari pemerintah Belanda. Berita baik disampaikan ke 3 keluarga korban lainnya di Parepare, Suppa dan Galung Lombok 4 hari berturut-turut.

Selain jumpa dengan keluarga korban yang menuntut setelah tahun 2012, ibu Pengacara Liesbeth Zegveld mengunjungi beberapa tempat peristiwa dan Taman Makam Pahlawan pada bulan Maret 2014. Ke Makassar, Parepare, Suppa, Bulukumba di Sulawesi Selatan dan ke Malang sampai Peniwen di Jawa Timur.

Pendataan di Sulawesi Selatan sampai Oktober 2013 dilakukan oleh perwakilan yayasan K.U.K.B. di Sulawesi Selatan dan Barat dibawah pimpinan Sabriah Hasan. Karena lebih sering berada di Malaysia dan kelahiran anaknya, kepengurusan kemudian diserahkan kepada Anis Kaba. Terakhir beralih ke Prof Arief.
Keluarga korban disarankan untuk berhubungan langsung dengan yayasan K.U.K.B. di Belanda dan atau berhubungan dengan pemerintah Belanda.

Pengumuman dari Pemerintah Belanda tanggal 10 September 2013 bahwa keluarga korban dapat berhubungan langsung, ditayangkan di website Kedutaan Besar. Kerajaan Belanda. Pengumunan ini tidak terjangkau oleh penduduk desa. Pengumuman tersebut disampaikan ke keluarga korban sebelum dibantu oleh yayasan K.U.K.B.

20.10.2013 Ibu Regge dan ibu Rannu memperkenalkan ibu Minasa janda la Tantu dan ibu Jimang janda Saleng sebagai janda korban yang suaminya tewas bersama ayah Regge. Janda La Tantu meninggal pada Maret 2014.

2017
Jumpa dengan anak korban peristiwa Batua di Makassar antara lain anak Majido, Anak Baso Pio, Anak Laha, Anak Limen dan adik Wolter Mongisidi.
Nama yang dikenal keluarga atau tanggal tewas berbeda dengan yang tercantum di papan nisan atau di buku daftar makam.