Yvonne Rieger-Rompas

A journey in history with Ipong

Ke Peniwen

Dipublikasikan: 15.02.2020

Setelah bersilaturahmi ke ibu janda Slamet Ponijo pada 17 Desember 2013, perjalanan dilanjutkan ke tempat peristiwa. Hutan, sawah dan udara yang sejuk, kurang-lebih 50 Km dari kota Malang letak Peniwen di Jawa Timur.

Sebelumnya, dari salah satu telfon yang tidak berhenti berdering tanggal 12 September, seseorang menanyakan kasus Peniwen. Diperjumpaan dengan bapak Wimbanu (78) saksi mata dan keluarga korban peristiwa yang bertempat tinggal di Jakarta tanggal 5 November 2013, beliau bercerita bahwa kakaknya, berusia 86 tahun, janda dari Slamet Ponijo telah menuntut haknya namun belum menerima kabar dari pihak Belanda.

Bapak Wimbanu mengetahui dengan baik cerita diserangnya desa Peniwen. Tempat tinggal beliau hanya beberapa meter dari tempat peristiwa.
Pada masa itu pertempuran antara tentara Indonesia dengan tentara Belanda sering terjadi di sepanjang jalan dari Malang ke Blitar. Desa Peniwen yang letaknya hanya beberapa kilometer dari jalan raya berada dalam penguasaan tentara Indonesia. Tentara Belanda sering mengadakan patroli di wilayah ini.
Setelah Malang dikuasai Belanda pada tahun 1949 banyak perawat yang berasal dari Desa Peniwen yang bekerja di Malang kembali ke Peniwen termasuk Suyono kakaknya dan Slamet Ponijo. Mereka mendirikan klinik kesehatan Palang Idjo bersama Pendeta Martodipuro di bangunan sekolah rakyat (SR) yang sudah tidak berfungsi.
Karena letak Peniwen dekat hutan tempat persembunyian tentara Indonesia, pasien pada saat itu banyak dari tentara Indonesia yang terluka berperang dengan tentara Belanda.
Pada tanggal 19 Pebruari 1949 terjadi kontak senjata antara tentara Belanda dan tentara Indonesia di perbatasan desa Peniwen. Karena terdesak tentara Indonesia berlarian mencari perlindungan. Tentara Belanda terus mengejar dan menduduki klinik Palang Ijo.
Bapak Wimbanu mendengar suara orang berteriak kemudian suara tembakan. Ada 6 orang yang ditembak sore itu didekat rumahnya.
Yang tewas adalah Suyono kakak Wimbanu, Slamet Ponidjo kakak iparnya, Sugianto, Kasman, Roby Andris dan Paindong. Mereka dimakamkan di depan tempat peristiwa. Kini di tempat pemakaman dibangun Monumen Peniwen Affair.
Kira-kira 3 (tiga) hari sesudah penembakan Bapak Pendeta Martodipuro, dibantu Bapak Pendeta Handrink, melalui Sinode Gereja di Malang mengirimkan surat ke gereja di Belanda.
Fotokopi surat itu disimpan dan ditunjukkan oleh Bapak Wimbanu.
Akhir tahun 1949 beberapa orang datang ke desa Peniwen bersama 1 orang dari Swiss dan 1 orang dari Perwakilan Gereja Belanda. Mereka melakukan penyelidikan tetapi sesudahnya bapak Wimbanu tidak mendengari informasi hasil penyelidikan tersebut.

Pada 15.03.2014 Pengacara Liebeth Zegveld jumpa dan berbicara dengan janda Slamet Ponijo dan saksi peristiwa ibu Jitnowati (1932) di Malang. Kedatangan di tempat peristiwa di Peniwen disambut oleh penduduk setempat.
Janda Slamet Ponijo meninggal dunia pada 27 Juni 2014 sebelum mengetahui bahwa Pemerintah Belanda memberikan ganti rugi.

Saat penyerangan di Peniwen beberapa tentara melakukan pemerkosaan terhadap perempuan di desa itu. Salah satu korban yang masih hidup menuntut pemerintah Belanda. Perjumpaan menanyakan apa yang telah terjadi di peristiwa yang menimpanya berpuluh tahun lalu, 22 November 2014 adalah hari yang tidak mudah bagi beliau dan saya. Semoga suatu saat beliau melupakan peristiwa pahit yang pernah terjadi dan memaafkan para pelakunya.
Kasus ini dimenangkan oleh Pengacara Liesbeth Zegveld. 27 Januari 2016 Pengadilan di Den Haag Belanda memutuskan bahwa Pemerintah Belanda harus bertanggung jawab dan memberikan ganti rugi.