Yvonne Rieger-Rompas

A journey in history with Ipong

Ke Manjaling

Dipublikasikan: 11.02.2020

Manjaling adalah bagian dari wilayah Limbung di Gowa, sekarang Kecamatan Bajeng Barat. Mata pencarian penduduknya adalah bertani padi, kacang idjo, kacang tanah dan sayur mayur. Di era pembangunan terlihat banyak penduduk yang memproduksi batu bata.
Pro dan kontra kemerdekaan Indonesia di wilayah Limbung mencapai puncak yang menyedihkan pada tanggal 7 Januari 1947 ketika pasukan komando khusus (Korps Speciale Troepen) dibawah pimpinan Raymond Westerling berada di Sulawesi Selatan.
Pendataan di Manjaling pada bulan Oktober 2013 didampingi ibu Siti Saerah, pensiunan guru, anak korban Palaha daeng Rangka. Palaha tewas bersama laki-laki Manjaling dan dari desa lainnya yang dibawa ke pasar Kalongkong. (Kaloengkoeng).
Jumpa saksi mata bersama anak korban pada tanggal 7 September 2014.
Bapak Rasyid (1927) menceritakan bahwa masyarakat dari kampung lain datang bersama tentara Belanda mengepung desa Manjaling. Semua penduduk Manjaling harus ikut. Mereka dibawa kepasar Kalongkong. Kepala Desa ditembak diperjalanan.
Sesampainya di pasar sudah banyak masyarakat dari kampung tetangga. Semua harus duduk kemudian beberapa nama dipanggil. Mereka yang dipanggil ditembak dihadapan keluarga.
Yang tewas dari Desa Manjaling hari itu adalah Kepala Kampung Udin, Makuta’nang, Johari, Palaha, Makking, Ronrong, Toroki. Mayat mereka yang ditembak dimakamkan berdampingan di pemakaman umum Manjaling.
Sebelumnya Liong dan saudaranya Mangalleang ditembak dikampung Karunrung. Dg. Tupu di bawa pergi oleh tentara Belanda dan ditembak ditempat lain. Belakangan keluarga Dg. Tupu mengetahui bahwa ayah mereka dimakamkan di Taman Makam Pahlawan di Romang Lompoa. Gowa.

Dari kiri ke kanan.
Siti Saerah, Bokoi Dg. Tuppu, Rasyid Dg. Talli, Bona Dg. Rani, Psima Dg. Laya


Dibawah adalah salah satu tulisan ibu Siti Saerah

MASA –MASA TERINDAH BERSAMA
“AYAH TERCINTA”

Ayahku adalah idolaku, Ayahku adalah panutanku, Ayahku adalah pembimbingku, Ayahku adalah guruku, Ayahku adalah pelita hidupku yang selalu menerangi kami. Demikianlah kuberikan gelar ini kepada Ayah tercinta, namun hidup kami bersama ayah hanyalah seumur jagung tetapi begitu banyak kenangan, ajaran, dan pegangan hidup yang ditinggalkan beliau, terutama contoh dan teladan untuk mengarungi lautan kehidupan. Memang saya hidup bersama beliau hanya berkisar 11 tahun, umur yang masih terbilang kanak-kanank, tapi saya sudah tahu apa arti dan makna contoh-contoh yang diberikan Ayah kepada kami sekeluarga.
Beliau memang hanya tamat Sekolah Rakyat 6 Tahun (VVS) pada zaman Belanda, tapi dalam mendidik anak-anaknya beliau sudah tahu apa arti pendidikan, apa arti kesehatan, sopan santun, menghargai orang lain, beramal, dan contoh teladan yang baik, terutama kepada kami anak-anaknya.
Pekerjaan pokok beliau memang hanya mandor pengairan yang mengatur pembagian air yang adil dan rata kepada seluruh sawah-sawah petani di kampung kami, karena kalau hal ini tidak diladeni dengan baik bisa-bisa mendatangkan percekcokan terhadap sesama petani. Begitu pula sebagai tukang cukur keliling, beliau tidak membeda-bedakan mulai dari anak-anak sampai kakek-kakek, apakah mereka cukup uang atau kurang, bahkan tidak beruangpun sebagai upah tetap diladeni dengan ikhlas.
Juga sebagai Pembantu Kepala Desa menyelenggarakan pemerintahan di desa yang bermacam-macam persoalan terjadi di masyarakat dapat diselesaikan dengan baik bersama dengan Kepala Desa. Tentang kesehatan beliau sudah tau penyakit-penyakit apa saja yang perlu dihindari. Contohnya, di kampung kami ada seorang penderita penyakit kusta yang tinggal terpencil seorang diri di pondoknya, tak jauh dari rumah kami. Beliau berpesan wanti-wanti kepada kami anak-anaknya, jangan bermain dekat-dekat kesana, tapi jangan juga kelihatan bahwa kita jijik atau memusuhinya.
Kami semua diberi pengertian bahwa penyakit itu bermacam-macam, ada yang menular ada yang tidak, contohnya penyakit lepra, TBC, dan berak-berak, penyakit ini dapat berpindah-pindah terutama kalau sering bersinggungan. Kita sebaiknya menjaga atau membatasi hal ini. Tetapi, kita sebagai manusia sama-sama ciptaan Tuhan yang paling mulia, tidak boleh menghina atau mengejek mereka. Malah kita harus kesihan kepada mereka, dan kita bersyukur kepada Tuhan YME, karena masih diberi kesehatan. Kami selalu diajarkan untuk berdoa mudah-mudahan Tuhan selalu memberi kami kesehatan dan kekuatan.
Begitu pula terhadap anak-anak sebayaku yang kerjanya menggembala kerbau, setiap hari mandi dan berendam di saluran air yang kotor dan jorok. Mereka dilarang mandi disitu untuk menghindari penyakit yang diakibatkan oleh air tersebut, itulah sebabnya apabila kebetulan Ayah jalan-jalan dan mereka sedang didapati mandi-mandi, mereka berhamburan lari dan berteriak-teriak, “mandor air datang, mandor air datang” sambil lari pontang panting meninggalkan pakaiannya di pinggir saluran air. Mereka menganggap bahwa karena Ayah seorang mandor pengairan maka mereka dilarang mandi di saluran air, padahal mereka dilarang untuk menghindari penyakit yang dibawa air yang kotor itu.
Ada juga waktu rekreasi kami bersama Ayah. Apabila padi petani sudah mulai berbuah, banyaklah ikan-ikan di sawah yang bisa dipancing, misalnya ikan gabus, ikan gurami, ikan kandiak, dan lain sebagainya yang saya tidak tahu apa namanya. Ikan-ikan ini berkembang biak dengan pesat, karena pada waktu itu petani belum menggunakan semprot racun untuk membunuh hama. Pada saat itu kami anak-anaknya diajak ke sawah untuk memancing ikan atau memasang bubu penangkap ikan. Maka berpestalah kami memancing, menangkap ikan, dan hasilnya kami bakar dan makan beramai-ramai, sambil menyanyi, bercanda, bersenda gurau, bersenang-senang. Begitu pula kalau sudah sampai waktunya potong padi tiba, karena pada waktu itu padi masih dipotong dengan alat yang bernama anai-anai. Laki, perempuan, anak-anak turut bergembira memotong padi dari pagi sampai sore. Petani-petani mendirikan alat pelindung waktu istirahat makan atau sholat namanya “Bullung-Bullung” Bahasa Makassar. Disinilah kami anak-anak sangat bergembira, makan di tengah sawah seperti orang piknik sambil bekerja. Inilah rekreasinya orang desa. Ayah kami selalu membuatkan kami mainan dari batang padi yang dapat mengeluarkan bunyi yang nyaring kalau ditiup. Ataukah kami anak-anak berlomba-lomba menangkap belalang padi yang banyak sekali berterbangan di sawah. Lain lagi kalau padi sudah selesai dipotong, musim kemarau sudah datang, petani-petani beramai-ramai lagi turun ke sawah menanam kacang hijau atau menanam jagung, sayur mayur, dan segala macam palawija. Ayah kami punya sawah sendiri di belakang rumah kami, disitulah Ayah menanam jagung atau kacang hijau dibantu oleh tetangga. Kamipun anak-anak tak ketinggalan berpartisipasi membantu orang tua menabur benih baik kacang hijau ataupun bibit jagung. Tidak lama kemudian tanaman-tanaman ini sudah berbuah dan sudah dapat dipetik. Ramai-ramailah petani kembali turun ke sawah memetik hasil dari tanamannya. Hasilnya sebagian dimakan dan sebahagian dijual. 
Adapun hasil kebun Ayah kami, karena kebetulan letaknya berdekatan dengan rumah kami, maka Ayah kami mengundang tetangga-tetangga untuk membantu memetik jagung sambil berpesta bakar-bakar jagung muda, dan ada juga yang dibagi-bagikan kepada tetangga yang tidak sempat datang, begitu juga kepada  keluarga yang jauh rumahnya. Demikianlah, kehidupan kami di kampung, hidup tentram, damai, makan apa adanya tapi bahagia rasanya.
Kembali kepada kehidupan pribadi saya bersama Ayah, Ibu, dan adik-adik. Saya ingat sekali satu kebiasaan Ayah saya, apabila musim paceklik sudah tiba,biasa Ayah mengajak saya dan adik saya yang laki-laki berjalan-jalan mengunjungi keluarga, sekedar silaturahmi. Dalam silaturahmi ini banyak contoh kehidupan yang diperlihatkan Ayah kepada kami, baik contoh yang baik, maupun yang tidak baik sesuai dengan pikiran kami sebagai kanak-kanak. 
Sepulang dari perjalanan tadi, Ayah memanggil Ibu kami dan disuruh menyiapkan beberapa tempat untuk diisi beras 3 atau 4 liter tiap tempat dan beras-beras itu disuruh antar kepada mereka yang kami datangi tadi. Memang dalam perjalanan kami tadi, banyak hal-hal yang memilukan yang kami lihat. Ayah tahu siapa-siapa diantara mereka yang sangat membutuhkan bantuan makanan. Itulah kebiasaan ayah kami dalam memberikan contoh yang baik kepada kami anak-anaknya.
Ayah saya juga seorang pendidik yang baik, berhubung karena Ibu saya seorang yang buta huruf maka pendidikan anak-anaknya ditangani langsung oleh Ayah. Setiap sore saya harus belajar mengaji diajari langsung oleh kakek, bersama dengan anak-anak kampung yang sebaya dengan saya. Malam harinya giliran Ayah yang mengajar kami, saya, dan adik saya disuruh membaca, berhitung, menghafal kali-kalian dan diberikan pelajaran dikte, untuk menguji apakah kami sudah mengerti menulis kalimat-kalimat diluar kepala. 
Kami selalu di beri PR untuk diperiksa pada malam berikutnya. Ayah saya sangat disiplin dalam mendidik anak-anaknya. Kami harus bangun pagi-pagi berangkat sekolah tidak boleh terlambat, karena sekolah kami terletak kira-kira 1 Km dari rumah. Contoh disiplin Ayah yang lain, pada suatu hari adik saya lupa kartu tabungannnya di sekolah (waktu saya sekolah di sekolah kami, ada anjuran untuk menabung bagi orang tua yang mampu sedikit). Kartu inilah yang ketinggalan di bangkunya. Waktu itu saya ingat benar, sudah jam 3 sore, hujan-hujan lagi disertai guntur, tapi adik saya harus kembali ke sekolah mencari kartu itu. Karena saya kasihan kepadanya, saya menemaninya kembali ke sekolah mencari kartu itu. Sudah sore, hujan pula,kami melalui kuburan pula. Sambil berjalan saya berpelukan dengan adik saya, sambil menangis karena takut dengan suara guntur yang menggelegar. Akhirnya, sampailah kami di sekolah, untung saja kartu itu ada tersimpan di dalam laci bangkunya. Pulanglah kami ke rumah dengan gembira membawa kartu itu. Sampai di rumah kami berdua diberi nasihat tentang kedisiplinan menjaga barang-barang kami, sejak saat itu kedisiplinan diajarkan Ayah sampai sekarang saya terapkan dan menurunkannya kepada anak cucu saya.
Ada hal yang paling indah untuk saya kenang yang tidak akan saya lupakan sepanjang hayat saya. Apabila sore-sore setelah Ayah pulang dari berkeliling mencari nafkah, setelah selesai istirahat dan sholat ashar dipanggillah saya, lalu ditidurkan di pangkuannya, untuk dicarikan kutu saya sampai saya tertidur dipangkuannya. Itulah Ayah saya, Ayah yang telah meninggalkan banyak kenangan indah yang tak akan terlupakan.
Akhirnya tibalah saat itu,saat yang tak bisa dibantah,saat yang tak bisa digeser tak bisa dipindahkan selidik pun dari ketentuan yang telah digariskan yang Maha Kuasa.Pergilah beliau meninggalkan kami,pergi untuk tidak kembali lagi,yang direngngukkan oleh tangan besi serdadu-serdadu Belanda yang dijalankan oleh antek-anteknya ,Sailella “Cs.Pupuslah sudah harapan kami,tempat kami bergantung,tempat berlindung telah tiada,Pergilah idolaku panutanku,pembimbingku dan guruku untuk selama-lamanya.Tinggallah kami anak-anaknya ,bagai penggembala ditengah hutan lebat,berjalan meraba-raba mencari cahaya terang yang jauh disana.Semoga Tuhan YME menuntun dan membimbing kami mencapai cahaya itu.Amin
Hanya pesan terakhirnya yang masih terngiang ditelingaku sampai sekarang sejak 68 tahun yang lalu.Saat itu tanggal 7 januari 1947,pagi-pagi sekali,sebelum meninggalkan rumah beliau berpesan kepada saya “Kalau ada serdadu yang mencari Ayah.Katakan bahwa Ayah seorang petani,sudah pergi kesawah sejak subuh.Jaga kakekmu baik-baik,karena kakek memang sedang sakit ,tidak bisa bangun.Juga awasi adikmu jangan biarkan dia kemana-mana karena ada kemungkinan banyak serdadu memasuki kampung.Itulah pesan terakhir yang disampaikan kepadaku,juga tatapan terakhir melihat wajahnya.Sejak itu kami bersaudara sudah menjadi yatim,tak ada lagi pelindung dan pembela kami kecuali ibu kami tersayang.Menurut cerita ibu pada malam itu juga beliau berpesan kepada ibu “kalau besok,lusa saya dipanggil oleh yang Maha Kuasa mendahuluimu,jangan bersedih dan tolong usahakan agar anak-anak kita jangan berhenti sekolah sampai batas semampumu.Ini diceritakan ibu kepada kami beberapa hari kemudian setelah kepergian Ayah.Hal ini disampaikan Ibu kami supaya menjadi cambuk atau pendorong bagi kami dalam menuntut ilmu.Itulah juga pesan terakhir dan komunikasi terakhir antara Ayah dan Ibu.Tiada kata dan doa terindah yang kami sampaikan kehadirat Allah Subhana Wataala.
“Selamat jalan Ayah tercinta,doa kami selalu menyertaimu,semoga perjuanganmu dan amal ibadahmu diterima disisinya”Amin,Amin,Amin Ya Rabbal Alamin

Makassar,20 November 2015
Jam 00.00 Wita
SITI SAERAH