Yvonne Rieger-Rompas

A journey in history with Ipong

Ke Lampung

Dipublikasikan: 18.02.2020

Penduduk di Lampung sangat beragam.

Bapak Arifin (1955), pendatang dari Bandung dulu bekerja membangun perairan di Lampung. Beliau menjelaskan bahwa penduduk asli di Bandar Lampung di Gedong Tataan dapat ditemukan yaitu Suku Lampung Pubian. Dan suku asli lainnya banyak yang tinggal jauh dari kota besar.

Bapak Toib (28.06.1930) bertempat tinggal di Gedong Tataan, datang di Sukaraja pada tahun 1950. Setelah sebelumnya ikut berjuang menjadi anggota BPRI (Barisan Pemberontakan Rakjat Indonesia) dan kemudian TNI di Jawa Timur dan Jawa Tengah.
Beliau menceritakan bahwa ketika beliau datang di Lampung, jumlah penduduk daerah keresidenan Lampung dengan ibukota Teluk Betung sebanyak 500.000 orang. Sebagai salah satu tentara yang dulu pro Republik beliau di pindahkan keluar Jawa, sedangkan yang pro Belanda tetap tinggal agar tidak terjadi bentrokan.
Pada masa pemerintahan Belanda, di Gedong Tataan dibangun tempat peristirahatan tentara Belanda, sekarang dijadikan Gudang Persenjataan.

Ibu Aminah (1928) Suku Lampung Pubian teringat bahwa setelah masa berat di jaman Nippon, Belanda datang kembali.
Banyak tentara Belanda melewati kampungnya namun masarakat takut sehingga selalu menundukkan kepala jika berpapasan dengan tentara Belanda. Dua pemuda warga Gedong Tataan (Inul dan Soleh) dijemput oleh tentara Belanda dari rumahnya dan tidak pernah kembali. Di jaman Belanda setiap hari terdengar suara tembakan, beliau sekeluarga pernah meninggalkan rumah bersembunyi di hutan karena takut serangan udara. Bapak Ibrahim (1943) anaknya adalah ketua Adat di Gedong Tataan mengantikan Bapak Dulhadi. Menurut bapak Ibrahim, sesepuh masyarakat setempat sering menceritakan bahwa di pinggir sawah dekat pabrik orang Belanda (diujung desa Gedong Tataan) banyak yang disiksa dan dibunuh.

Bendungan Way Semah

Di Sukodadi, Bendungan Way Semah dibangun pada tahun 1916.
Sesepuh mbah Silam (1920), tinggal di dekat bendungan Way Semah.
Beliau berusia 8 tahun ketika datang di Way Semah dengan Joyo Kusumo (ayah) dan Aminah ( ibu) karena pekerjaan ayahnya bekerja sebagai mandor yang turut membangun bendungan. Kemudian nikah dengan seorang mandor bendungan dan melahirkan anak pertamanya Sukarman pada tahun 1942 (Pensiunan PU).
Menurut Sukarman pada saat dia masih kecil, tentara Belanda mendatangi rumah-rumah disekitar bendungan termasuk rumah kediaman orangtuanya dan beberapa laki-laki dianiaya dan dibawa pergi. Mereka tidak kembali lagi. Keluarga diberi kabar dan masyarakat hanya mendengar bahwa laki-laki yang dijemput telah tewas ditembak Belanda.
Way Semah letaknya dekat perbukitan, dan disalah satu rumah telah dijadikan tempat persembunyian laskar Republik Indonesia. Tempat persembunyian dirumah yang letaknya agak tinggi, terdapat parit besar dimana pejuang atau laskar membentuk pertahanan membalas serangan tentara Belanda.
Karena kekuatan tidak seimbang para pejuang yang selamat melarikan diri ke bukit-bukit dibelakang bendungan. 2 pejuang gugur kemudian dibawa ke Pringsewu (Sejarah Singkat Perjuangan ALRI Angkatan I. A Lampung, M Nurdin, 1980).

Di Kota Dalam dibangun sebuah monumen yang menceritakan peristiwa penyerangan tentara Belanda ketika para pejuang sedang bersembunyi di rumah kepala kampung.

Bapak Juendi (1955), anak dari Zen Karim yang menjadi kepala kampung pada saat peristiwa pembumihangusan beberapa rumah disekitar berdirinya monumen. Bapak Juendi bercerita bahwa wartawan dari Belanda juga pernah datang.
Desa Kota Dalam dulu letaknya di wilayah Kedondong.
Ayah Juendi sering menceritakan tentang malam penyerangan dan dilanjutkan dengan pembumihangusan rumah penduduk di Kota Dalam.
Tentara sedang berkumpul di rumah kepala adat ketika serangan datang pada bulan Mei 1949. Karena sebelumnya tentara Belanda jatuh 2 korban yang tewas akibat pertempuran, Belanda menyerang dan kemudian membakar 3 rumah penduduk. Di tempat kejadian itu kemudian pada tahun 1976 dibangun Monumen Perjuangan. Salah satu yang dibakar adalah rumah Zen Karim.

Di desa Suka Jaya jumpa dengan bapak Muhyadin Amin (1939). Pensiunan Tentara Angkatan Udara RI.
Bapak Muhyadin menceritakan ketika dia berusia sekitar 10 tahun, tentara Belanda datang ke desa Sukajaya. Kakak iparnya, Mochtar, adalah salah satu pejuang dari Palembang yang dicari dan dikejar oleh tentara Belanda.
Tentara Belanda menggeledah rumah tempat tinggal rakyat. Setelah Mochtar ditemukan kemudian ditendang jatuh ke halaman rumah (Rumah adat di Lampung adalah Rumah Panggung). Ketika akan ditembak, Muhyadin dengar Mochtar mengingatkan tentara Belanda yang saat itu dipimpin oleh Spect bahwa tentara yang ditangkap tidak boleh ditembak ditempat. Akhirnya tentara Belanda membawa Mochtar pergi, namun sebelumnya semua isi rumah dihancurkan oleh tentara Belanda dan semua barang berharga yang ditemukan diambil termasuk warisan orang tua ibunya.
Beliau masih mendendam kepada tentara Belanda yang telah memusnahkan segala peninggalan kakek-neneknya yang dihibahkan ke ibunya dan karena melihat kekejian tentara Belanda terhadap kakak iparnya.
Seorang laki-laki lain yang tinggal di desa Sukajaya juga ditangkap dan setelah disiksa untuk mengetahui dimana adanya pejuang, akhirnya ditembak mati. Pamannya Azis ditangkap dan ditawan di lumbung padi tapi dibiarkan tanpa diberikan makanan.
Bapak Muhyadin menyampaikan bahwa pencarian Pejuang telah menewaskan warga sipil mulai dari daerah Gedong Tataan sampai Kedondong dan Pringsewu. Banyak penduduk sipil dipersawahan yang dibunuh perorang tapi keluarga tidak berani berterus terang karena takut ditangkap kemudian akan disiksa dan ditembak Macan Loreng. Dulu tentara Belanda memakai seragam atasan berwarna loreng dengan celana coklat muda atau agak kuning.
Beliau juga menceritakan bahwa di Pringsewu terjadi pembunuhan Kyai Gholib karena disangka menyembunyikan pejuang.

Di Sukoharjo, Pringsewu, penduduknya didatangkan oleh pemerintah Belanda ke Lampung pada tahun 1938 kemudian masyarakat program TransAD tahun 1950.
Ketua veteran Sukoarjo, Bapak Wagio (1928), datang dari Jawa Timur pada tahun 1950 dan menjelaskan bahwa sekarang semua penduduk Sukoarjo datang setelah tahun 1950. Mereka yang datang untuk membuka lahan pada tahun 1938 (Program Kolonisasi Pem. Belanda) sudah tidak ditemukan.

Di Waij Lima, Belanda membangun bendungan namun tahunnya tidak terbaca. Penduduk Way Lima sudah berubah dengan adanya program TransAD. Penduduk asli atau yang hidup sebelumnya sudah tidak ditemukan. Daerah persawahan sudah berubah menjadi perkebunan karet dan perkebunan coklat kata bapak Zainal yang bertempat tinggal disamping bendungan Way Lima.

Perjalanan dari Bandar Lampung ke Penumangan, kabupaten Tulang Bawang, Lampung Utara, ditempuh 4 jam.
Di jalan raya, sebelum memasuki desa Penumangan Lama terlihat monumen untuk mengenang jasa dari 20 korban tentara Belanda tahun 1949. Diantaranya terdapat 18 nama warga sipil.

Dari 17 keluarga yang ayahnya ditembak, saat ini hanya 2 anak bertempat tinggal di desa Penumangan. Beberapa sudah meninggal dan lainnya tinggal bersama anak-cucu di tempat yang berbeda-beda.
Bapak Rolib (1939), ayahnya A. Hamid gelar Raja Pesirah Mega (Marga), mantan kepala desa selama 18 tahun, menyaksikan tentara Belanda yang pergi kemudian datang kembali dan memanggil semua penduduk laki-laki untuk berkumpul di persimpangan jalan diidekat rumahnya. Dikatakan oleh tentara Belanda bahwa atasannya akan menyampaikan pidato. Namun setelah semua berkumpul, dengan senjata beratnya pasukan Belanda Macan Loreng menembaki semua yang berkumpul sebanyak 17 orang.
Seorang kakek menanyakan apa salah anaknya, namun tanpa mendapat jawaban langsung ditembak di tangga rumahnya.
Bapak Achmad Riban (1947) anak Idris gelar Tuan Sep Marga, masih sangat kecil, hanya mendengar cerita dari ibu, kakak, dan masyarakat desa tentang kematian ayahnya yang saat itu menjabat kepala desa. Demikian juga dengan,bapak Turmuzi anak Burhanudin. Ayahnya dibunuh bersama kakeknya M Yusuf gelar Raja Tihang.
Bapak Abdullah Hamid (1936), bertempat tinggal di Metro. Beliau sudah remaja ketika penyerangan terjadi dan sedang berada di Kota Agung, tidak mengetahui bahwa ayahnya tewas ditembak. Sekembalinya ke desa, bapak Abdullah harus meneruskan tugas ayahnya memberi nafkah keluarga dan menyekolahkan adik-adiknya sebanyak 6 orang. Pendidikan HIS sebelumnya harus dia hentikan.

Bapak Riban dan Turmuzi hanya mendapat pendidikan sampai kelas 3 SR karena ibu mereka tidak sanggup membiayai sekolah anak-anaknya.

Peristiwa berdarah di Penumangan diceritakan bapak Saleh di Gedung Juang terjadi pada bulan Mei 1949.
Saat itu tentara Belanda mengadakan patroli mencari pejuang. Masyarakat mengatakan mereka tidak tahu. Kemudian Tentara Belanda meninggalkan desa menyebrangi sungai kearah Pagar Dewa. Namun ketika dalam perjalanan penyebrangan terdengar suara tembakan. Tentara Belanda kembali menepi dan mengumpulkan masyarakat desa sekitar 20 orang. Kemudian semua ditembak mati. Seorang ibu ketakutan dan masuk kedalam sumur.