Yvonne Rieger-Rompas

A journey in history with Ipong

Ke Galung Lombok

Dipublikasikan: 02.02.2020

Desa Galung Lombok letaknya 2 Km dari jalan utama Polewali – Majene. Di jalan raya sesudah Tinambung sebelum memasuki Majene dipasang petunjuk jalan ke Taman Makam Pahlawan dan di gerbang jauh sebelum memasuki desa tertera Taman Makam 40.000 korban jiwa.
Galung Lombok berada di wilayah Sulawesi Selatan sampai 2004. Selanjutnya menjadi bagian dari Sulawesi Barat.
Pada tanggal 1 Februari 1947 terjadi peristiwa diluar perikemanusiaan yang menewaskan banyak rakyat sipil. Masyarakat mengenalnya dengan Penyapuang di Galung Lombok.
Awalnya tentara Belanda membawa tawanan untuk mempertontonkan ke masyarakat hukuman yang akan diberikan kepada pendukung Merah Putih yang telah ditawan, dilanjutkan dengan mencari pendukung Merah Putih lainnya diantara masyarakat desa.
Di bukit-bukit di Pumbeke, tidak jauh dari desa Segeri, terdapat tempat persembunyian pendukung kemerdekaan pimpinan Hama Saleh dari Banjar.
Sementara semua penduduk desa ketakutan dikumpul di Galung Lombok. Beberapa tentara mengadakan patroli.
Tewasnya tentara Belanda yang sedang melakukan patroli di desa Tadholo membuat tentara Belanda mengamuk dan melampiaskan amarahnya dengan menembak membabi buta. Sebanyak 364 korban yang tewas menurut perhitungan Belanda. Ditempat penembakan jasad korban dimakamkan secara massal, di Taman Makam Pahlawan di Galung Lombok

11 Februari 2010
Penduduk di Karumbanang mengantar ke tempat Ibu Radawiyah Istri dari Boka salah satu rakyat sipil petani yang tewas ditembak di hari penyapuang. Ibu Radawiyah tidak berbahasa Indonesia sehingga diperlukan bantuan yang dapat menerjemahkan bahasa Mandar ke Bahasa Indonesia dan sebaliknya. Ketika ditanya tentang suaminya beliau lebih banyak berdiam diri dengan wajah murung.
Foto ibu Radawiyah bersama anaknya dengan toga ketika diwisuda di pajang di dinding. Seperti beberapa anak korban lainnya, anak ibu Radawiyah bersama Boka terlahir beberapa tahun sesudah peristiwa penyapuan. Menurut keluarga, ibu tidak menikah lagi setelah suaminya tewas.
Umar cucu mantu ibu Radawiyah memperkenalkan bapak Belle, sesepuh lainnya di Karumbanang.

Pak Belle (Almarhum-2012) yang saat itu sudah remaja mengatakan penduduk disiram dengan peluru.
Dibantu oleh salah satu tentara Belanda yang memerintahkan agar semua lari, Pak Belle adalah salah satu yang selamat.
Menurut catatan/daftar Pak Belle penduduk laki-laki desa Galung Lombok dan sekitarnya yang terbunuh (Galung, Lombok, Karumbang, Sepa Batu ) sebanyak 19 orang. Mereka dibunuh bersama orang laki-laki yang sangat besar jumlahnya yang dibawa/digiring dari daerah lain oleh tentara Belanda ke lapangan di tempat penembakan.

Beberapa nama anak korban yang masih berhubungan dengan Galung Lombok diberikan oleh Pak Belle.
Ali Hatta (anak dari Hatta).
Hj. Kamaria (anak dari Taking).
Hj. Hasnah dan Hj. Sanah (anak dari Kari).
Suhaeni (anak dari Lamba).
Mina (anak dari Kaco Camba).
Junus (anak dari Boka).
Nama-nama korban yang diberikan oleh pak Belle dapat ditemukan juga didaftar NIMH yang lengkap dengan keterangan latar belakang penembakan.

Ibu Hj Hasnah dan Ibu Hj Sanah. Dua anak Kari tinggal bersama, Mereka empat bersaudara.. Dari empat bersaudara hanya adik yang bungsu yang mendapat bantuan untuk bersekolah karena setelah ayah mereka dibunuh ibu mereka tidak sanggup menyekolahkan anak-anaknya. Ibu Hj. Sanah menjadi guru SD di depan rumahnya di desa lain.
Ibu Hasnah meninggal dunia pada tahun 2014.

Ibu Hj. Kamariah anak dari Taking dibesarkan oleh bibinya karena ibunya meninggal ketika beliau masih kecil. Selain mendapat bantuan dari keluarga, beliau mendapat bantuan untuk bersekolah. Jenjang kariernya sampai menjadi kepala sekolah ditempat tinggalnya diluar Galung Lombok.
Ibu Kamariah meninggal dunia pada tahun 2016.

Dibantu oleh yayasan K.U.K.B. menuntut pemerintah Belanda dan menerima kompensasi.
Tahun 2013 Janda korban Sega, anak Kepala Kampung Galung sangat berterimakasih karena kompensasi itu dapat membiayai cucu-cucunya melanjutkan pendidikan.

Tahun 2014 Janda korban Hadolla, ditangkap di Soreang dan ditembak di Galung Lombok mendapat kompensasi.

9 Juni 2016
Desa Segeri letaknya di belakang Majene, dikelilingi bukit-bukit. Mata pencarian penduduk adalah bercocok tanam Selain kelapa, di bukit-bukit mereka menanam buah-buahan dan sayur mayur.
Oleh penduduk di Segeri kami diantar menemui ibu Sitti Awi (Almarhumah 2018).
Ibu Sitti Awi menceritakan sedikit dari yang masih beliau ingat. Semua penduduk kampung waktu itu harus ke Galung Lombok. Untuk mendengar lebih jelas peristiwanya beliau memanggil kakaknya yang bertempat tinggal di desa tetangga.
Adam namanya. Beliau sudah duduk dikelas dua Sekolah Rakyat ketika penyapuang terjadi.
Beberapa tahun setelah ayahnya tewas beliau mendapat panggilan untuk melanjutkan sekolah di Makassar. Bersama 3 anak korban dari Segeri dan Baruga disekolahkan dan tinggal di asrama bersama banyak anak korban peristiwa penembakaan di tempat lain di Sulawesi Selatan.

Bapak Adam kemudian mengundang beberapa anak korban yang hidup di desanya dan kampung tetangga. Beberapa nama anak korban lain yang Adam kenal merantau didekat Palu. Nama-nama ayah mereka semua tercantum di daftar nama di Arsip di Belanda dengan sedikit perbedaan. Djeogarang. Huruf „u“ seharusnya „oe“? Maralai, Ta`di, Badu, Bede, Ecce, Sali dan Tani.

Menurut bapak Adam penembakan terhadap tawanan dan orang yang ditunjuk sebagai penjahat telah selesai. Masyarakat dari beberapa desa masih harus duduk menunggu ditentukannya kepala kampung yang baru. Seorang tentara datang dan memberikan kertas ke tentara lainnya. Kemudian barisan penduduk Segeri ditembak dengan senapan mesin. Dari bawah tubuh bibinya yang menekan Adam agar bertiarap, Adam melihat ayahnya tewas tertembak.

Anak korban H. Nuhung membangun pesantren didesanya.