Yvonne Rieger-Rompas

A journey in history with Ipong

Ke Kulo

Dipublikasikan: 06.02.2020

Dimana-mana terjadi penembakan, Anda akan jumpa dengan banyak keluarga korban di Sidrap. Kata-kata janda Lauseng mengingatkan perjumpaan dengan bapak La Toba ketua LVRI Parepare tahun 2010 di Parepare yang menyarankan agar pendataan juga dilakukan di Sidenreng Rappang.

Dari Hadi Amin cucu Lauseng diketahui bahwa nenek Pegawai kantor desa di Panreng adalah janda korban La Pallu, tewas di peristiwa penembakan 1947 di Kulo.
Dua Warga di kampung tempat tinggal bapak Lurah diketahui sebagai korban 40.000 jiwa dari tempat peristiwa yang berbeda.

Berbeda dengan bapak pendamping perjalanan di Sidrap tahun 2010 yang mengatakan bahwa sudah tidak ada saksi mata dan keluarga korban, di Kulo masih hidup beberapa saksi sejarah dan keluarga korban peristiwa 1945-1947.

16 September 2013 sesepuh desa Madendra di Kulo, ibu I Haming (1932), bercerita bahwa tentara Nica datang dengan mata-mata karena mencurigai adanya pendukung perjuangan kemerdekaan. Kampung dikepung tentara, semua penduduk dikumpul, mereka digiring seperti ayam, ditendang dan dipukul. Tidak semua tentara bertindak keras seperti itu, tambahnya.
Di pasar yang sekarang dibangun kantor, mata-mata menunjuk kemudian yang ditunjuk ditembak satu persatu. Yang mencoba melarikan diri juga ditembak. Mata-mata dimaksud sudah meninggal.
Jasad para korban dimakamkan di depan, sekarang ada kantor.
Semua yang memiliki jabatan ditembak saat itu. Beberapa nama yang tewas yang masih ibu ingat adalah, La Cando kepala Desa, La Pallu wakil desa. La Kebe, ambona Hamadeng dan sepupu La Kebe.
Nama-nama yang ibu I Haming sebutkan telah disimpan sejak lama di arsip di Belanda.

Setelah berita permohonan maaf peristiwa di Sulawesi Selatan disampaikan oleh Duta Besar Belanda di Jakarta September 2013, keluarga korban penduduk di Sidenreng Rappang kecewa karena permohonan maaf disampaikan tanpa mengikutsertakan peristiwa di wilayah Sidenreng Rappang.
Keluarga korban di Kulo menghubungi kantor Camat dan memprotes. Setelah mengetahui bahwa kasus janda La Pallu sedang ditangani, Bapak Camat mengajak keluarga sesuai daftar nama korban yang disimpan di kantor kecamatan untuk temu muka pada tanggal 26 September 2013.
Sejarah peristiwa di Kulo tidak ditemui setelah mencari informasi di Internet, demikian kata salah satu pegawai kecamatan. Mereka tidak mengetahui ejaan telah beberapa kali berubah.

Dengan bantuan yayasan K.U.K.B., janda La Sondeng, janda La Marullu, janda la Sangkali (Sakoli) dan janda Lahanong menerima ganti rugi dari pemerintah Belanda.
Janda La Pallu meninggal dunia di Nunukan sebelum kasus ditangani.
Janda La Santa meninggal dunia sebelum semua bukti yang diperlukan terkumpul.

Di hutan di bukit Cenreangin dekat desa Kulo dapat ditemui markas tempat persinggahan para pejuang.
Ibu janda La Hanong (1930) Desember 2013 menceritakan bahwa tentara Belanda telah menembaki orang yang yang tidak tahu apa-apa. Yang dicari oleh tentara Belanda berada di hutan. Orang kampung juga takut kalau yang dari hutan datang. Suaminya petani biasa di Anrelli bersama penduduk lainnya menjadi sasaran.
Orang masih tidur dibangunkan, semua orang dijemput tentara. Banyak sekali, ada yang tinggi besar, ada yang hitam. Separuh perjalanan beliau disapa tentara, melihat anak digendongan masih kecil, beliau disuruh pulang.
Sore hari orang kembali dan memberitahukan peristiwa di pasar dan bahwa suaminya juga ditembak mati. Dulu orang takut berbicara tentang peristiwa penembakan itu.
Beberapa hari setelah beliau mengetahui bahwa pemerintah Belanda memberikan ganti rugi, janda La Hanong meninggal dunia.

Hamadeng anak.La Kebe.
Keluarga korban di wilayah Kulo mengetahui bahwa La Kebe adalah salah satu korban penembakan di pasar Kulo. Ibunya menceritakan Hamadeng lahir 17 hari setelah ayahnya tewas. Ketika menyiapkan ijasah tamat Sekolah Rakyat ditahun 1961, anak-anak harus memberikan tahun kelahiran mereka. Mengetahui bahwa ayahnya adalah korban penembakan dan dibanyak tempat tertulis tanggal 10 November adalah hari Pahlawan beliau mengambil kesimpulan bahwa beliau lahir tanggal 28 November. Perhitungan tahunnya adalah usia masuk sekolah diatas 6 tahun dan di Sekolah Rakyat 6 tahun.
Hamadeng mengetahui bahwa semua jasad korban dimakamkan di Kulo. Setelah dewasa, ketika mengadakan doa bersama di Taman Makam Pahlawan di Mario, Hamadeng melihat bahwa dibanyak makam tercantum nama-nama ayah teman-teman dan nama ayahnya yang diketahui sebagai korban tragedi menyedihkan di Kulo.

Di laporan van Rij en Stam tercantum bahwa di Kulo terjadi aksi penembakan pada tanggal 9 Februari 1947.

Bersama anak-anak korban, anak P. Situju, anak La Tare, anak Lakasse, anak La Noaha, anak La Hasang, anak La Wahede, anak Lapasoso, anak Lasappe, anak La Rukka dan anak korban lain di Kulo yang nama ayah mereka tidak tercantum di arsip Belanda, beliau menuntut pemerintah Belanda. Tuntutan ditolak karena melampaui Masa Wajar penuntutan.