Yvonne Rieger-Rompas

A journey in history with Ipong

Perjalanan

Dipublikasikan: 22.01.2020

Pendataan Keluarga Korban 1945-1949

Bulan Juli 2009 Dutch Peace Organisation, bekerjasama dengan yayasan K.U.K.B. ingin mengetahui apakah korban Aksi Militer Belanda 1945 -1949 di Indonesia masih dapat ditemui selain keluarga korban di Rawagede.
Pada tanggal 30 Januari 2010 Jeffry Pondaag meminta saya ke Sulawesi Selatan dan mencari informasi di lapangan.

Setelah ibu Liesbeth Zegveld memenangkan kasus dari beberapa daerah di Sulawesi Selatan, pada tahun 2013, banyak keluarga korban yang ingin dihubungi dan mencari tahu langkah yang harus diambil agar mereka mendapat perhatian dari pemerintah Belanda. Dari Peniwen di Jawa Timur, dari Rengat di Riau, dari Payakumbuh di Sumatra Barat. Keluarga korban aksi militer meminta agar peristiwa yang terjadi di daerah mereka pada tahun 1949 mendapat perhatian.
Jika di Sulawesi Selatan Laporan yang dibuat tahun 1954 oleh van Rij en Stam sering kali saya buka untuk memeriksa peristiwa disalah satu desa apabila seseorang menghubungi saya.
Di Rengat dibantu oleh sejarahwan Susilowadi Almarhum yang meneliti arsip Belanda berkaitan peristiwa 5 Januari 1949.
Setelah keluarga korban penembakan 19 Februari 1949 di Peniwen selesai, kunjungan ke Jawa Timur berlanjut ditahun 2014, ke seorang korban pelecehan oleh tentara Belanda Februari 1949 dan bapak korban penyiksaan 1947.

Kunjungan ke Sumatra atau ke Jawa Timur sangat singkat karena jumlah korban yang menuntut tidak sebanyak jumlah korban yang gugur di Sulawesi Selatan.
Berbeda dengan desa Balongsari (Rawamerta/Rawagede) yang letaknya di Jawa Barat dan mudah dijangkau, Sulawesi Selatan adalah wilayah yang sangat luas. Bahasa yang digunakan di satu daerah dan daerah lainnya berbeda.
Di Sulawesi Selatan terjadi penembakan terhadap rakyat sipil di beberapa desa dan kota. Mulai dari Makassar ke utara, Maros, Pangkajene, Barru, Parepare, Sidenreng Rappang sampai Majene, di selatan arah Takalar dan Bulukumba.
Hubungan kekeluargaan penduduk desa yang erat membuat perjalanan menjumpai keluarga korban tidak terlalu sulit. Reaksi penduduk atas pertanyaan awal ketika memasuki satu desa dimana kita melihat monumen peringatan suatu peristiwa dijawab dengan ramah “Sebaiknya anda tanyakan bapak A, atau ibu B. „Mereka adalah sesepuh desa setempat“

Keluarga korban di satu desa saling mengenal karena beberapa tahun lalu, keluarga korban menerima bingkisan pada saat upacara hari Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus dan upacara berkabung di Sulawesi Selatan pada tanggal 11 Desember.
Kebiasaan seperti tersebut saya saksikan ketika berkunjung ke Balongsari pada tanggal 9 Desember 2009. Setelah upacara selesai Keluarga korban dipanggil satu persatu oleh panitia acara untuk menerima amplop yang telah disiapkan.

Penangkapan dan penembakan yang terjadi ditahun 1945-1949 membuat banyak keluarga korban pada saat itu ketakutan. Saudara dan teman mengucilkan keluarga korban. Takut akan menjadi sasaran berikutnya. Mereka tidak tahu apa kesalahan suami atau ayah mereka.
Menurut catatan sejarah Belanda, sekitar 3000 orang menjadi korban di Sulawesi Selatan. Ada yang ditembak dan ada yang hilang tidak diketahui dibawa pergi kemana.

Di perjalanan 2011 di Maros saya tersentak. Seorang nenek tua yang saya sapa untuk menanyakan alamat seorang anak korban, memandang dan menanyakan apakah saya mata-mata Belanda. Peristiwa penembakan sudah lama sekali tapi seseorang sebagai mata-mata Belanda masih melekat dibenak mereka.

Sekitar 6 jam dengan kendaraan diperlukan dari Makassar ke Galung Lombok. Tidak terbayang berapa lama perjalanan tentara Belanda di Sulawesi Selatan ditahun .1945-1949. Apa sebabnya tentara Belanda melakukan pembantaian ratusan rakyat biasa. Peristiwa pembantaian 1947 dikenal dengan „penyapuan di Galung Lombok“.

Bapak Ad anak Djugarang tahun 2016 bercerita bahwa dari rumah kediaman di Tadholo penduduk digiring ke Galung Lombok.
Setelah peristiwa penyapuan, penduduk lari bertebaran ke hutan. Rumah tempat tinggal mereka ludas dibakar.
1951 Ad mendapat bantuan untuk bersekolah di Makassar. Terhenti dan kembali ke kampungnya di Tadholo, setelah salah satu saudara laki-lakinya tertembak oleh tentara di peristiwa lain. Adik-adiknya yang masih kecil memerlukan biaya hidup dan Ad harus membantu ibunya bekerja dikebun.

Bapak Lagala dari Palopo menghubungi Kedutaan Besar Belanda di Jakarta pada tahun 2012. Beliau memberikan daftar anak yatim yang disekolahkan di yayasan korban 40.000 di Makassar. Nama Ad tercantum di daftar tersebut sebagai anak dari Djuragang. Di daftar NIMH yang saya baca di tahun 2016 tercatum nama Djeogarang. Mahuseng yang mendata keluarga korban dari Segeri dan sekitarnya setelah penyapuan Galung Lombok tidak dapat menjelaskan tentang adanya perbedaan penulisan nama. Beliau ditangkap di peristiwa pada tahun 1966.

Takalar-Gowa
Ibu Maha hanya mengetahui bahwa suaminya yang bernama Conci Dg. Siriwa dijemput kemudian menerima kabar bahwa suaminya tewas. Sejak mendapat kabar bahwa suaminya tewas ibu membesarkan anak satu-satunya.
Menurut saksi mata yang melihat suaminya dijemput, suaminya ditembak di Barembeng bersama laki-laki lainnya.
Foto Conci Dg Siriwa mengenakan seragam militer atau polisi terdapat di ruang tamu di rumahnya.
Pada bulan Maret 2014 Ibu Maha mengatakan bahwa suaminya dulu bekerja sebagai tentara. Suatu hari di jemput seseorang tetapi ibu tidak melihat orangnya dan sejak saat itu suaminya tidak pernah kembali.
Di catatan atau laporan 2 mingguan militer Belanda !6-31 Januari 1947 tercantum nama Tjontji Dg. Sirawa
In der onderafdeling Goa werden de zuiveringsactie`s voortgezet, waarbij, zoals in het voorgaand politik verschlag reeds werd aangeteckend, zeer veel steun wird ondervonden van de kampongbevolking.
Vele extremisten uit LIMBOENG, BONTONOMPO, GALESONG kwamen zich bij de politie te Limboeng melden, w.o. de leiders GANKA DG. LOERANG, HAMZAH Dg. BETA en TJONJI DG. SIRAWA, die allen in het bezit werden aangetroffen van een revolver.

Bulowatang
Isa lahir pada tahun 1927, menikah dengan Lagalung pada tahun 1941 dan memiliki seorang anak perempuan bernama Hanafiah.
Meninggal dunia pada tanggal 21 Maret 2017. Suaminya ditembak di Bulowatang pada tahun 1947.
Setelah penembakan bertempat di halaman rumah Puang Sara semua mayat di bawa dengan bale-bale ke makam umum Waru-Warue di Bulo Watang dan dimakamkan dalam 3 lubang besar.
Beberapa tahun kemudian, Hanafiah masih disekolah rakyat (SR), Makam dibongkar dan tulang-belulang dicuci disungai dekat makam kemudian dipindahkan ke Makam Pahlawan di Mario.
Pemindahan makam atas permintaan pemerintah setempat.
Kebiasaan perempuan Bugis bertanggung jawab untuk urusan di rumah harus terbagi karena kehilangan suami.
Pada tahun 1951 Isa menikah dengan adik suami almarhum (Pindah Bantal menurut adat Bugis „Lele Akanguluang“) bernama Labekka.
Beberapa keluarga korban Bulo Watang yang pernah ditemui adalah Cabi anak Lancong, La sinusi anak Lasise, Mamara anak Semang, Ramlah anak Abbas, Saripah anak Lajaga.

Bulukumba
Ayah Sabeuna bernama H. Abdul Karim, seorang Kadi, ditembak bersama 7 orang lainnya di tepi pantai di Bulukumba. Di tempat penembakan telah dibangun monumen.
Ibu Sabeuna tidak menuntut tanggng jawab pemerintah Belanda karena ayahnya tewas untuk kemerdekaan Indonesia.

Parepare-Suppa
Salah satu putra Makarumpa Dg. Parani yang ditembak di Pare-pare 1947 saya jumpai pada awal perjalanan di tahun 2010. Beliau mengharapkan permohonan maaf dari Pemerintah Belanda atas peristiwa yang terjadi di Sulawesi Selatan.

Maiwa, Enrekang
Andi Cori, korban penembakan di Maroangin, Enrekang, memiliki beberapa istri di tempat yang berbeda mereka tidak ingin hubungan keluarga menjadi retak sehingga mereka tidak ingin 2 jandanya yang masih hidup menuntut kompensasi dari pemerintah Belanda.

Sampai tahun 2018, Infrastruktur di banyak Desa yang dikunjungi masih belum baik. Jalanan yang rusak (contoh perjalanan disalah satu desa di Sulawesi Barat), jaringan telfon seluler yang umum dipakai sangat lemah. Untuk dapat berhubungan dengan luar desa tergantung kendaraan umum yang datang menghantar dan menjemput pelajar atau kalau ada penduduk yang memerlukan kendaraan (lewat pesanan).
Karena lemahnya signal telfon, internet pun tidak memungkinkan. Kadang harus ke pinggiran kota terdekat beberapa kilometer di luar desa.
Pelaku dan saksi mata sejarah bertempat tinggal di pelosok dengan kondisi seperti yang disebut diatas. Misalnya bapak Nawa di Osso, Enrekang, Bapak Batoe Edja di Ralla, Barru, Bapak Ad di Segeri, Majene.
Kendala karena banyak orang tua yang sehari-harinya berbahasa daerah dapat diatasi dengan mengajak seseorang yang fasih berbahasa setempat.
Kebiasaan untuk menghormati seseorang, laki-laki mendapat panggilan „ayahnya nama anak“ misalnya A memiliki anak bernama B. Karena anaknya bernama B, masyarakat memanggilnya „PuangnaB“. Keluarga dekat mengetahui nama sebenarnya. Seseorang dengan jabatan tertentu atau keturunan bangsawan dikenal masyarakat dengan jabatan atau nama bangsawan misalnya Peta Pabicara adalah seorang bangsawan dengan jabatan sebagai pembicara dari suatu desa.
Banyak nama dengan latar belakang agama yang dianut. Hama dari Muhammad, Saleng dari Salim, Huseng dari Husein atau Beddu dari Abdullah dan banyak lainnya. Generasi sekarang mengubah nama yang dulu digunakan disesuaikan dengan yang sebenarnya.
Nama alias seorang pejuang yang dikenal oleh teman berjuang berbeda dengan nama yang diberikan oleh keluarga. Misalnya anak dari datu Tanete di Pancana. Teman seperjuangan mengenalnya dengan nama Batoe Edja namun oleh ayahnya diberikan nama Andi Ahmad. Kedua nama itu kemudian dipadukan .

Keluarga korban yang merantau keluar Sulawesi Selatan tetap berhubungan dengan keluarga di desa. Namun karena kondisi kesehatan, mereka tidak sanggup pulang kedaerah asal mereka. Keluarga korban yang tinggal di daerah, karena kondisi kesehatan tidak dapat melakukan perjalanan jauh sehingga harus dikunjungi.
Tahun kelahiran yang tercantum di tanda pengenal membuat pertanyaan baru. Seseorang memiliki KTP lama atau surat keterangan lainnya tercantum lahir sebelum tahun 1945 namun di tanda pengenal yang resmi berlaku diterbitkan sejak tahun 2011 tercantum kelahiran 1970 keatas. Karena rendahnya pendidikan atau bahkan buta huruf, yang bersangkutan tidak meminta untuk dikoreksi.
Seorang anak korban penembakan di Langa, belajar beberapa tahun dan memperoleh gelar yang disandangnya di Perancis, mengatakan sering merasa berat untuk bekerjasama dengan orang yang pemerintahnya dulu membunuh ayahnya.
Kengerian melihat atau kesedihan mengetahui suami dan atau ayah menjadi korban keganasan tentara, ditembak tanpa diketahui dengan jelas kesalahannya dan hidup saling mencurigai diantara keluarga masih belum dapat dilupakan. .
Permohonan maaf dan ganti rugi yang diberikan walau tidak dapat mengubah sejarah yang terjadi akan mengobati luka dihati keluarga korban yang menuntut.